WELLCOME TO MY SIMPLE BLOG. PELASE ENJOY IT... ....!!!

Senin, 30 Mei 2011

ALBUM_Q

Kitab al-Jarh wa al-Ta'dil Karya Ibnu Abi Hatim al-Razi

PENDAHULUAN

         Sebagaimana kita ketahui bersama, hadits dapat dinilai shahih dari dua aspek; sanad dan matan. Untuk dapat mengetahui kualitas tersebut dari apek sanad, kita memerlukan ilmu tarikh ar-ruwah dan al-jarh wa at-ta’dil yang tercakup dalam ilmu rijal al-hadits. Pada abad ke-3 dan ke4 Hijriyah dimulailah kodifikasi hadits yang berimplikasi dengan munculnya banyak kitab-kitab hadits termasuk al-kutub as-sittah. Di masa ini juga berkembangnya keilmuan islam terutama dalam ranah keilmuan hadis yang akhirnya menimbulkan cabang-cabang ilmu hadits. Salah satu diantaranya adalah Ibnu Abi Hatim ar-Razi (w. 327 H) dengan karya besarnya “Al-Jarh wa At-Ta’dil”. Pada masanya kitab ini menjadi salah satu rujukan utama bagi para peneliti hadits untuk mengetahui riwayat hidup dan kualitas para rawi. Menurut muhaqqiq kitab tersebut, Abbdurrahman bin Yahya al-Ma’lami al-Yamani, biografi para perawi yang terdapat di dalam kitab tersebut hampir sebanyak 20.000 rawi. Ini merupakan suatu prestasi tersendiri dan kelebihan beliau dari pada para ulama sebelumnya karena selain biografi para rawi, beliau juga mencantumkan penilaian para ulama terhadap rawi tersebut.

Minggu, 15 Mei 2011

TAKHYIR


BAB I
PENDAHULUAN

            Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam al-Ghazali bahwa mengetahui hukum syara’ merupakan buah (inti) dari Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Sasaran kedua disiplin ilmu tersebut memang mengetahui hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul Fiqh meninjau hukum syara’ dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu Fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara’, yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa iqtidha’ (tuntutan perintah atau larangan), takhyir (pilihan) maupun wadh’i (sebab akibat).
            Pembahasan tentang takhyir masih sangat minim sekali. Hanya ada beberapa kitab yang menjelaskannya walaupun dengan sederhana. Pada makalah kali ini, penulis mencoba untuk memaparkan sekilas tentang takhyir yang bisa disamakan dengan mubah. Pada bab I terdapat pendahuluan yang menerangkan garis besar tentang takhyir. Bab II akan dijelaskan definisi takhyir, mubah dan pembagian mubah serta bagaimana cara mengetahui mubah. Dalam makalah ini juga diambil dari beberapa pendapat ulama’ yang menurut penulis layak untuk dijadikan referensi dalam pembahasan takhyir. Makalah ini akan ditutup dengan bab III yang berisi kesimpulan dari pemakalah.
            Penulis sangat menyadari bahwa terdapat banyak sekali kekurangan dan kesalahan yang terdapat di dalam makalah ini, baik disengaja maupun tidak disengaja.   Tentunya kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis harapkan agar menjadi pelajaran untuk masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua sebagai langkah awal menuju pemahaman agama yang sempurna. 
             



BAB II
PEMBAHASAN MASALAH


1.      PENGERTIAN TAKHYIR
Takhyir berasal dari bahasa Arab  (تخييرا) yang secara etimologi berarti menyuruh pilih atau memberi kebebasan memilih.[1] Sedangkan secara epistimologi takhyir adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Allah(As-Syari’) untuk memilih antara melakukan atau tidak. Para ulama’ menamakan khitab ini ibahah (mubah) dan demikian pula sifat perbuatan itu.[2] Adapun menurut Prof. Dr. Rahmat Syafe’i, takhyir (fakultatif) adalah kebolehan memilih antara melakukan atau meninggalkannya dengan posisi yang sama.[3] Sedangkan di dalam kamus Istilah Fiqh dijelaskan bahwa Hukum Takhyiri ialah suatu hukum yang sifatnya boleh memilih, yakni : boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Hukum Takhyiri mencakup: Sunat, Makruh dan Mubah.[4]
Dari beberapa definisi di atas, penulis lebih sependapat dengan definisi pertama dan kedua bahwa takhyir sama dengan mubah. Karena pembahasan tentang takhyir di dalam kitab-kitab ushul fiqh sangat terbatas, maka penulis akan menjelaskan tentang mubah dan tidak lagi memakai kata takhyir. Hal ini diperkuat dengan adanya definisi takhyir: bahwa Allah SWT memberikan kebebasan kepada orang mukallaf untuk mengerjakan atau meninggalkannya, seperti, makan, tidur dan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang biasa dikerjakan manusia pada waktu-waktu tertentu, dimana Allah memang memerintahkan perbuatan-perbuatan tersebut, hanya saja tidak memberikan ketentuan waktunya.[5]

2.      PENGERTIAN MUBAH
Mubah merupakan bentuk isim maf’ul dari kata (اباح يبيح مباح) yang memiliki makna “yang diperbolehkan” atau “yang diperkenankan”.[6] Ada juga arti lainnya yaitu “menjelaskan” dan “memberitahukan”. Kadang-kadang muncul arti “melepaskan” dan “mengizinkan”.[7] Adapun pengertian mubah menurut Abdul Wahhab Khallaf adalah:
ما خير الشارع المكلف بين فعله و تركه فلم يطلب الشارع ان يفعل المكلف هذا الفعل و لم يطلب ان يكف عنه
Sesuatu yang diberikan oleh Syari’ kepada mukallaf untuk memilih antara mengerjakannya dan meninggalkannya. Jadi Syari’ tidak menuntut supaya mengerjakan perbuatan itu dan tidak pula menuntut supaya ia meninggalkannya.”[8]
Imam Syaukani memberikan arti: “sesuatu yang tidak dipuji mengerjakannya atau meninggalkannya”. Sedangkan Muhammad Khudhori mengartikannya: “apa yang diberi hak pilih untuk memperbuat atau meninggalkannya tanpa ada pujian begitu pula celaan”.[9] Dalam hal ini seorang mukallaf boleh memperbuat atau tidak memperbuat. Tidak berdosa yang memperbuat  dan tidak berdosa pula orang yang meninggalkannya.
Terkadang hukum mubah itu dimaksudkan unuk suatu perbuatan yang tidak mengandung resiko apabila dikerjakan, meskipun pada mulanya perbuatan tersebut diharamkan. Seperti membunuh orang yang murtad  itu diperbolehkan (mubah) dan pelakunya tidak terkena resiko apa-apa. Dalam istilah lain mubah juga disebut halal dan jaiz.
Dari sini dapat diketahui bahwa termasuk dalam kategori mubah adalah suatu perbuatan yang pada mulanya diharamkan, tetapi karena ada suatu faktor yang menyebabkan perbuatan tersebut dihalalkan, maka akhirnya perbuatan itu diperbolehkan. Seperti membunuh orang yang murtad, ditinjau dari segi kamanusiaan, orang itu haram dibunuh. Tetapi, karena ia murtad, maka hilanglah keharaman tersebut. Sebagaimana mengambil mas kawin  yang telah diberikan kepada isteri adalah haram, berdasarkan firman Allah SWT:
÷bÎ)ur ãN?Šur& tA#yö7ÏGó$# 8l÷ry šc%x6¨B 8l÷ry óOçF÷s?#uäur £`ßg1y÷nÎ) #Y$sÜZÏ% Ÿxsù (#räè{ù's? çm÷ZÏB $º«øx© 4 ¼çmtRrääzù's?r& $YY»tGôgç/ $VJøOÎ)ur $YYÎ6B ÇËÉÈ
Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ? (Q.S. An-Nisa’: 20).
            Tetapi, jika suami isteri tersebut selalu cekcok terus menerus, maka bagi seorang isteri boleh menyerahkan (mas kawin) tersebut kepada suami sebagai tebusan atas dirinya, dan bagi suami boleh mengambilnya.[10] 

3.      PEMBAGIAN MUBAH
            Pembagian mubah menurut ulama’ Ushul Fiqh dilihat dari segi keterkaitannya dengan mudarat dan manfaat, yaitu:
a.       Mubah apabila dilakukan atau tidak dilakukan, tidak mengandung mudarat, seperti makan, minum, berpakaian dan berburu.
b.      Mubah yang apabila dilakukan mukallaf tidak ada mudaratnya, sedang perbuatan itu sendiri pada dasarnya diharamkan. Mubah seperti ini diantaranya: melakukan sesuatu dalam keadaan darurat atau terpaksa, seperti makan babi karena tidak ada makanan lagi yang mesti dimakan dan apabila tidak dimakan, maka seseorang akan mati.
c.       Sesuatu yang pada dasanya bersifat mudarat dan tidak boleh dilakukan  menurut syara’, tetapi Allah memaafkan pelakunya, sehingga perbuatan itu menjadi mubah. Contoh untuk kategori ini banyak sekali, yaitu mengerjakan pekerjaan haram sebelum Islam seperti mengawaini bekas isteri ayah (ibu tiri), dan mengawini dua orang wanita yang bersaudara sekaligus. Kemudian datang syari’at Islam yang mengharamkan perbuatan tersebut, dan menyatakan bahwa orang yang melakukannya sebelum Islam dimaafkan. Dalam hal ini Allah berfiman:
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? $tB yxs3tR Nà2ät!$t/#uä šÆÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# žwÎ) $tB ôs% y#n=y 4 ¼çm¯RÎ) tb$Ÿ2 Zpt±Ås»sù $\Fø)tBur uä!$yur ¸xÎ6y ÇËËÈ
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). (Q.S. An-Nisa’: 22) 
      Ketika Islam datang ada juga contoh mubah seperti ini, yaitu meminum minuman keras dan beristeri lebih dari empat orang. Kedua perbuatan ini pada masa awal Islam masih dibolehkan, kemudian turun ayat  yang mengharamkannya. Apa yang telah dilakukan umat Islam sebelum turunnya ayat tersebut termasuk daam hukum ma’fu ‘anhu atau mubah. Akan tetapi, ma’fu ‘anhu tersebut, menurut  sebagian ulama’ ushul fiqh merupakan bagian tersendiri dari hukum mubah.[11]
            Pada dasarnya memang dalam hukum mubah ada kebolehan nutuk memilih antara melakukan dan meninggalkan tanpa dosa atau pahala. Namun dalam beberapa hal menyerupai wajib kifayah dengan arti untuk satu pribadi tertentu hukumnya hanya mubah atau untuk satu waktu tertentu hukumnya mubah dan tidak berdosa meninggalkannya. Tetapi bila ditinggalkan oleh semua orang atau ditinggalkan daam semua waktu, maka dapat diberi dosa atau dinilai dengan pahala. Umpamanya makan, secara umum dinyatakan bahwa orang yang tidak makan tidak diancam dengan dosa; tetapi kalau tidak makan secara berketerusan sampai membawa pada kematian, maka jadilah ia berdosa. Demikian pula kawin menurut sebagian ulama’ hukumnya hanya mubah dan tidak berdosa orang yang tidak kawin. Tetapi bila semua orang sepakat untuk tidak kawin sehingga tidak ada lagi kelanjutan jenis manusia, maka hukumnya menjadi haram.
            Dalam hal ini kelihatan bahwa sifat ibahahnya hanya dalam hal memilih macam dan waktunya; bukan memilih untuk tidak memperbuatnya. Dalam contoh di atas, seorang mukallaf berhak memilih siapa yang akan dikawininya dan kapan ia akan kawin, bukan memilih prinsip kawin atau tidak kawin. Begitu pula ia berhak memilih di antara kemungkinan waktu dan sasaran.[12]
            Sehubungan  dengan apa yang dijelaskan di atas, Al-Syathibi membagi mubah menjadi empat macam:
  1. Mubah bi al-Juz’i al-Mathlub bi al-Kulli ‘ala jihat al-Rujub. Artinya hukum mubah yang secara parsial bisa berubah menjadi wajib, apabila dilihat dari keseluruhan. Misalnya, makan, minum dan berpakaian. Pada dasarnya pekerjaan seperti itu hukumnya adalah mubah, sehingga seorang mukallaf boleh memilih untuk melakukan atau tidak melakukan pada waktu atau kondisi tertentu. Akan tetapi, apabila seseorang meninggalkan makan, minum dan berpakaian sama sekali (secara kulli), maka pekerjaan tersebut akan menjadi wajib baginya, bukan lagi mubah.

  1. Mubah bi al-Juz’i li al-Mathlub bi al-Kulli ‘ala jihat al-Mandub. Artinya, hukum mubah secara juz’i berubah menjadi mandub, apabila dilihat dari segi kulli. Misalnya, dalam masalah makan dan minum melebihi kebutuhan. Sekalipun hukum makan dan nimum mubah dan boleh dipilih mukallaf pada waktu dan kondisi tertentu, apabila ditinggalkan bisa menjurus kepada hukum makruh, maka ketika itu makan dan minum menjadi sunah baginya. Karena perbuatan meninggalkan makan dan minum, sekalipun tidak membawa kematian hukumnya adalah makruh. Oleh sebab itu, makan dan minum dalam keadaan seperti ini berubah menjadi mandub (dianjurkan), bukan mubah lagi. Hal ini sejalan dengan sabda Rasululla SAW:
“Apabila dilapangkan Allah bagi kamu, kamu harus berlapang-lapang, karena Allah sangat ingin melihat pengaruh nikmat yang Dia berikan kepada hamba-Nya”. (H.R. Muslim, Al-Tirmidzi dan Ahmad bin Hambal).
            Maksudnya, jika seseorang memiliki kelebihan harta, makan dan minum bukan lagi sekedar kenyang saja, tetapi harus juga memperhatikan kualitas dan kuantitas makan dan minumnya. Hukum inilah yang dimaksudkan dengan mandub sekalipun pada asalnya mubah.

  1. Mubah bi al-Juz’i al-Muharramah bi al-Kulli. Artinya mubah yang secara juz’i bisa diharamkan apabila dilihat dari segi kulli. Misalnya, mencela anak dan selalu makan dengan makanan yang lezat-lezat. Pada dasarnya kedua perbuatan ini hukumnya adalah mubah apabila sesuai dengan waktu dan kondisinya. Akan tetapi, hukum mubah ini bisa berubah menjadi haram, apabila pekerjaan tersebut membawa kemudaratan, seperti makan tanpa mempertimbangkan kondisi fisik dan kesehatan, atau mencela anak yang berakibat kerusakan mental pada anak. Dalam kasus ini hukum mubah berbah menjadi haram.

  1. Mubah bi al-Juz’i al-Makruh bi al-Kulli. Artinya hukum mubah bisa berubah menjadi makruh, apabila dilihat dari akibat negatif perbuatan itu secara kulli, seperti bernyanyi. Bernynyi pada waktu dan kondisi tertentu adalah mubah. Akan tetapi, apabila bernyanyi itu keterusan sehingga bisa meninggalkan pekerjaan yang lebih bermanfaat atau menurunkan nilai sopan santun dan etika seseorang, maka hukum bernyanyi berubah dari mubah menjadi makruh.[13]
            Dengan demikian dapat diketahui, bahwa hukum mubah itu hanya bersifat temporal, tidak ada mubah yang bersifat abadi (berlaku sepanjang masa). Bahkan secara umum perbuatan mubah itu ada yang diperintahkan (diwajibkan) dan ada pula yang dilarang (diharamkan).[14]

4.      CARA MENGETAHUI MUBAH
            Mubah dapat diketahui dengan tiga cara:
1.      Adanya ucapan pembuat hukum (Syari’) tentang “tidak berdosa” atau “ tidak ada halangannya” atau kata lain yang sejenis dengan itu. Seperti firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 173 dan ayat 229:
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøŠyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ͍ƒÌYÏø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ÎŽötóÏ9 «!$# ( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOŠÏm§ ÇÊÐÌÈ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al-Baqarah: 173)

 ÷bÎ*sù ÷LäêøÿÅz žwr& $uKÉ)ムyŠrßãn «!$# Ÿxsù yy$oYã_ $yJÍköŽn=tã $uKÏù ôNytGøù$# ¾ÏmÎ/ ......3  ÇËËÒÈ
Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. (Q.S. Al-Baqarah: 229)
         Kata la itsma( لاإثم ) pada ayat pertama menunjukkan tidak haram atau mubah hukumnya bangkai, darah dan daging babi bagi orang yang terpaksa. Kata la junah ( لاجناح ) pada ayat kedua menunjukkan tidak terlarang atau mubah hukumnya menebus pernikahan.

2.      Adanya ucapan pembuat hukum yang jelas “menghalalkan” perbuatan itu. Umpamanya firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 96:
¨@Ïmé& öNä3s9 ßø|¹ ̍óst7ø9$# ¼çmãB$yèsÛur $Yè»tFtB öNä3©9 Íou$§¡¡=Ï9ur ( tPÌhãmur öNä3øn=tæ ßø|¹ ÎhŽy9ø9$# $tB óOçFøBߊ $YBããm 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# üÏ%©!$# ÏmøŠs9Î) šcrçŽ|³øtéB ÇÒÏÈ
 Dihalalkan bagimu binatang buruan laut[15] dan makanan (yang berasal) dari laut[16] sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan. (Q.S. al-Maidah: 96)

3.      Tidak ada nash syara’ yang mengharamkannya: oleh karena itu dikembalikan pada hukum asal berdasarkan prinsip:
      “baraah al-ashliyyah” ( براءة الا صلية)  yang berarti selama tidak ada titah yang mengharamkan maka hukumnya adalah mubah.
      Dengan demikian setiap sesuatu yang ditemukan dalam bentuk makanan atau pakaian, umpamanya, tetapi tidak ada keterangan yang mengharamkannya, maka hukumnya adalah mubah. Seperti makan daging kelinci, memakai pakaian yang terbuat dari bulu domba yang telah dibersihkan. Hal yang demikian dibolehkan, adalah karena tidak ada dalil yang mengharamkannya.


BAB III
 PENUTUP

1.      KESIMPULAN
            Dari penjelasan di atas, penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan, diantaranya:
  1. Takhyir merupakan suatu ketetapan tuhan yang bersifat pilihan, tidak bernilai pahala dan dosa bagi mukalaf yang mengerjakannya ataupun meninggalkannya.
  2. Takhyir sama dengan mubah.
  3. Terkadang takhyir (mubah) merupakan perbuatan yang awalnya diharamkan atau diwajibkan.
  4. Takhyir (mubah) juga bisa menjadi sesuatu yang dianjurkan (mandub),dibenci (makruh), diharuskan (ijab) dan dilarang (haram).
  5. Mubah itu bersifat temporal (tergantung situasi dan kondisi).  



[1] Adib Bisri, Munawwir A. Fatah, Kamus Al-Bisri (Surabaya: Pustaka Progresif, 1999), hlm. 181.
[2] Muhammad al-Khudhari Beik, Ushul Fiqh, terj.Faiz el Muttaqien (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), hlm. 63.
[3] Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 296.
[4] M. Abdul Mujieb, Kamus Istilah Fiqih (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 107.
[5] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, terj. Saefullah Ma’shum(dkk.), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), hlm. 26.
[6] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), hlm. 118.
[7]  Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), jilid I, hlm. 316.
[8] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang: Dina Utama, 1994), hlm. 167.
[9] Amir Syarifuddin, Ilmu Usul Fiqh,....hlm. 317.
                [10] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh,...hlm. 56-57,  
                [11]  Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh,...hlm. 310.
                [12] Amir Syarifuddin, Ilmu Usul Fiqh,...hlm.318-319.
                [13] Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih,...hlm. 310-312.
                [14] Muhammad Abu Zahrah,  Ushul Fiqih,... hlm. 59.
[15] Maksudnya: binatang buruan laut yang diperoleh dengan jalan usaha seperti mengail, memukat dan sebagainya. Termasuk juga dalam pengertian laut disini ialah: sungai, danau, kolam dan sebagainya.
[16] Maksudnya: ikan atau binatang laut yang diperoleh dengan mudah, karena telah mati terapung atau terdampar dipantai dan sebagainya.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...