Raden Mas Surojo, putra Hamengkubuwana II yang lahir pada tanggal 20 Februari 1769. Pada bulan Desember 1810 terjadi serbuan tentara Belanda terhadap Keraton Yogyakarta sebagai kelanjutan dari permusuhan antara Hamengkubuwana II melawan Herman Daendels.
Hamengkubuwana II diturunkan secara paksa dari takhta. Herman Daendels kemudian mengangkat Raden Mas Surojo sebagai Hamengkubuwana III berpangkat regent, atau wakil raja. Ia juga menangkap dan menahan Pangeran Notokusumo saudara Hamengkubuwana II di Cirebon.
Pada tahun 1811 Inggris berhasil merebut jajahan Belanda terutama Jawa. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hamengkubuwana II untuk naik takhta kembali dan menurunkan Hamengkubuwana III sebagai putra mahkota. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 28 Desember 1811.
Kemudian terjadi permusuhan antara Hamengkubuwana II melawan Thomas Raffles, yaitu kepala pemerintahan Inggris di Jawa. Pertempuran terjadi di Keraton Yogyakarta, di mana Thomas Raffles membuang Hamengkubuwana II ke Pulau Penang, dan mengangkat kembali Hamengkubuwana III sebagai raja.
Akibat pertempuran tersebut, Kesultanan Yogyakarta harus menerima konsekuensi, antara lain:
- Yogyakarta harus melepaskan daerah Kedu, separuh Pacitan, Japan, Jipang dan Grobogan kepada Inggris dan diganti kerugian sebesar 100.000 real setiap tahunnya.
- Angkatan perang Yogyakarta diperkecil dan hanya beberapa tentara keamanan keraton saja.
- Sebagian daerah kekuasaan keraton diserahkan kepada Pangeran Notokusumo yang berjasa mendukung Thomas Raffles, dan diangkat menjadi Paku Alam I.
Pemerintahan Hamengkubuwana III berakhir pada saat meninggalnya, yaitu tanggal 3 November 1814. Ia digantikan putranya yang masih anak-anak sebagai Hamengkubuwana IV. Sementara itu putra tertuanya yang lahir dari selir bernama Pangeran Diponegoro kelak melancarkan perang terhadap Belanda pada tahun 1825 – 1830.
PANGERAN DIPONEGORO, PUTRA HAMENGKU BUWONO III
Sebelas
November 1785, keluarga kraton Ngayogyakarta Hadiningrat berbahagia.
Hamengku Buwono III (HB-III), hari itu, mempunyai anak pertama yang
dinamai Antawirya. Konon Hamengkubuwono I (HB-I) sangat tertarik pada
cicitnya itu. Ia, katanya, akan melebihi kebesarannya. Ia akan
memusnahkan Belanda.
Antawirya
dibesarkan di Tegalrejo dalam asuhan Ratu Ageng, istri HB-I. Di sana
ia belajar mengaji Quran dan nilai-nilai Islam. Tegalrejo juga
memungkinkannya untuk lebih dekat dengan rakyat. Spiritualitasnya makin
terasah dengan kesukaannya berkhalwat atau menyepi di bukit-bukit dan
gua sekitarnya. Hal demikian membuat Antawirya semakin tak menikmati
bila berada di kraton yang mewah, dan bahkan sering mengadakan
acara-acara model Barat. Termasuk dengan pesta mabuknya. Kabarnya,
Antawirya hanya "sowan" ayahnya dua kali dalam setahun. Yakni saat Idul
Fitri dan 'Gerebeg Maulid".
Antawirya
kemudian bergelar Pangeran Diponegoro. Ia tumbuh sebagai seorang yang
sangat disegani. Ayahnya hendak memilihnya sebagai putra mahkota. Ia
menolak. Ia tak dapat menikmati tinggal di istana. Ia malah menyarankan
ayahnya agar memilih Djarot, adiknya, sebagai putra mahkota. Ia hanya
akan mendampingi Djarot kelak.
Pada 1814, Hamengku Buwono III meninggal. Pangeran Djarot, yang baru berusia 13 tahun, diangkat menjadi Hamengku Buwono IV. Praktis
kendali kekuasaan dikuasai Patih Danurejo IV -seorang pro Belanda dan
bahkan bergaya hidup Belanda. Perlahan kehidupan kraton makin menjauhi
suasana yang diharapkan Diponegoro. Apalagi setelah adiknya, Hamengku
Buwono IV meninggal pada 1822. Atas inisiatif Danurejo pula, Pangeran
Menol yang baru berusia 3 tahun dinobatkan menjadi raja. Makin
berkuasalah Danurejo.
Saran-saran
Diponegoro tak digubris. Danurejo dan Residen Yogya A.H. Smissaert
malah berencana membuat jalan raya melewati tanah Diponegoro di
Tegalrejo. Tanpa pemberitahuan, mereka mematok-matok tanah tersebut.
Para pengikut Diponegoro mencabutinya. Diponegoro minta Belanda untuk
mengubah rencananya tersebut. Juga untuk memecat Patih Danurejo. Namun,
pada 20 Juli 1825, pasukan Belanda dan Danurejo IV mengepung Tegalrejo.
Diponegoro telah mengungsikan warga setempat ke bukit-bukit Selarong.
Di sana, ia juga mengorganisasikan pasukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar