WELLCOME TO MY SIMPLE BLOG. PELASE ENJOY IT... ....!!!

Minggu, 08 Januari 2012

AL-RA'YU By Fadhli Lukman



A.    Pendahuluan
Alquran merupakan mu’jizat terbesar Rasulullah SAW. Ia merupakan kalam Allah SWT yang secara otentik sampai ke hadapan kita. Tidak ada kitab-kitab lain yang mampu bertahan selama berabad-abad dalam kondisi  sebagaimana aslinya, melainkan Alquran. Karena, memang Allah telah menjamin penjagaan Alquran itu sendiri hingga akhir zaman.
Banyak hal yang menjaga otentisitas Alquran ini. Seperti adanya faktor eksternal yaitu para huffaz yang sangat banyak bertebaran. Memang suatu keistimewaan tersendiri, Alquran bisa dihafal oleh orang non Arab sekalipun yang notabene bahasa Arab bukanlah bahasa mereka. Akan tetapi tidak ada yang bisa menghafal buku atau koran lokal dengan bahasa mereka masing-masing. Begitu juga dengan ilmuan yang dengan telitinya menghitung ayat, kata, bahkan huruf dalam Alquran.
Tak kalah penting—dan sangat penting sekali—unsur-unsur internal Alquran yang memberikan andil yang sangat besar dalam otentisitas ini. Hal ini berupa keajaiban-keajaiban yang tiada terkira sebelumnya, seperti halnya keajaiban angka sembilan belas yang ada dalam Alquran. Nilai sastra yang terkandung dalam kalimat demi kalimat pada setiap ayat demi ayat dan surat dari awal hingga akhir mencapai batas yang tak terjangkau oleh kemampuan manusia untuk membuat karya yang menyamainya.
Alquran seringkali menggunakan suatu kata dengan beragam pemaknaan. Satu kata yang sama, seringkali digunakan pada banyak tempat yang berbeda dengan makna yang beragam pula. Dalam Ulumul Quran konsep ini disebut dengan wujuh wa nazhair. Akan tetapi, tulisan ini tidak akan membahas wujuh wa nazhair tersebut secara eksklusif, melainkan hanya membahas salah satu kata yang termasuk ke dalam konsep tersebut, yaitu ra’yu dengan segala derivasinya. Kata ra’yu dengan beragam derivasinya seringkali digunakan Alquran dalam beberapa konteks dan beragam makna. Oleh sebab itu, penelitian ini menjadi penting supaya tidak salah menempatkan pemaknaan kata tersebut pada konteks yang tidak tepat. Supaya tidak memaknainya dengan makna A sementara konteksnya menuntut makna B, dan sebagainya.
Lebih lanjut, tulisan ini akan menggambarkan makna-makna ra’a baik makna dasar maupun makna lanjutan yang secara langsung dikaitkan dengan Alquran. Awalnya, kata ini diperhatikan dari segi bahasa Arab dan kemudian dilihat dan dipadukan dengan ayat Alquran yang menggunakan kata dengan pemaknaan tersebut. Oleh sebab itu, ra’a dalam Alquran tidak dibahas dalam sub poin tersendiri.
Setelah membahas makna dasar dan makna lanjutan dari kata ini, akan dibahas satu diskursus yang menggunakan konsep ra’yu. Pada tulisan ini dibahas tafsir bi al-ra’y. Akan tetapi, tulisan ini tidak ditujukan untuk membahas tuntas permasalah tafsir bi al-ra’yi tersebut. Tulisan ini nantinya hanya menjelaskan definisi dari tafsir bi al-ra’yi supaya bisa diketahui hubungan dan relevansi makna dari ra’yu dan tafsir bi al-ra'yi itu sendiri.

B.     Makna Dasar Ra’yu
Ra’yu merupakan sebuah kata dalam bahasa Arab yang sangat lazim digunakan dalam percakapan harian. Semua orang Arab atau orang yang mengenal bahasa Arab tidak merasa asing lagi dengan kata yang satu ini. Ini bukanlah merupakan sesuatu yang aneh mengingat ra’yu berkaitan dengan suatu aktifitas vital yang dilakukan oleh manusia. Kata ini sering kali digunakan dalam artian melihat atau atau menyangka,[1] tentu saja disamping makna-makna lainnya. Melihat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh mata, dan menyangka adalah kegiatan yang melibatkan hati atau akal. Mata dan hati/akal merupakan komponen penting dalam kehidupan manusia, sehingga sangatlah wajar ketika kata ra’yu ini terasa begitu populer dalam bahasa Arab, baik bahasa lisan maupun tulisan.
Secara derivatif, kata ini berasal dari رأي – رأيا – رؤية – راءة.[2] Perlu digarisbawahi, sebagaimana bahasa-bahasa lainnya, kata kerja (fi’il) dalam Arab dapat dibagi menjadi dua kelompok besar. Sebagiannya adalah kata kerja yang butuh kepada objek (muta’addi/transitif) dan sebagian lainnya adalah kata kerja yang tidak butuh kepada objek (lazim/intransitif). Yang pertama adalah seumpama kata fahima (mengerti) dan yang kedua contohnya jalasa (duduk). Kata kerja kelompok pertama ada yang hanya butuh kepada satu objek, dan ada yang butuh kepada dua objek.[3] Dan kata ra’a jika ditarik ke dalam pemetaan ini, maka ia berada pada kelompok kata kerja pertama, muta’addi atau transitif atau yang butuh kepada objek.
Dari beberapa referensi kebahasaan dijelaskan bahwasanya makna mendasar dari kata ra’a ini berbeda sesuai dengan perbedaan jumlah objeknya. Apabila kata ini hanya memiliki satu objek, maka ia bermakna melihat dengan mata. Akan tetapi, apabila ia memiliki dua objek, maka ia bermakna mengetahui dengan hati/akal.[4] Yang pertama seumpama pada kata ra’a fulanun syai’an (seseorang melihat sesuatu) dan yang kedua sebagaimana pada kata ra’a (huwa) zaidan ‘aliman (dia mengetahui bahwa Zaid pintar). Akan tetapi, diperlukan kecermatan dalam hal ini, karena terkadang kata ra’a diikuti oleh dua ism manshub setelahnya, akan tetapi keduanya bukanlah objek dari kata tersebut. Salah satunya benar merupakan objek, akan tetapi yang lainnya adalah hal.[5] Hal ini seperti pada kata falamma ra’a al-qamara bazighan (Q.S. al-An’am [6]: 77). Pada ayat ini, al-qamara adalah objek dari ra’a, akan tetapi bazigan adalah hal dari qamara, bukan objek kedua. Oleh sebab itu, kata ra’a di sini tetap bermakna melihat dengan indera.
Perbedaan makna berdasarkan jumlah objek ini juga digunakan oleh Alquran dalam beberapa ayat. Kata ra’a yang memiliki satu objek, yang bermakna melihat dengan mata, dapat dilihat pada surat al-Insan [76]: 20:
وَإِذَا رَأَيْتَ ثَمَّ رَأَيْتَ نَعِيمًا وَمُلْكًا كَبِيرًا
Dalam beberapa penafsiran dijelaskan bahwa makna dari kata ra’a pada ayat di atas adalah melihat dengan mata. Dengan jelasnya, Imam al-Thabari menjelaskan makna ra’a di sini dengan ungkapan “wa iza nazharta bibasharika ya Muhammad,..”[6] Artinya, jelaslah bahwa imam al-Thabari memaknai kata ra’a di sini dengan melihat menggunakan indera penglihat. Pemaknaan yang sama juga dialamatkan kepada kata ra’aitahum pada ayat sebelumnya. Senada dengan al-Thabari, imam al-Alusi juga menerjemahkan ra’a pada ayat tersebut sebagai melihat dengan indera penglihat. Pada ayat tersebut kata ra’a yang bersubjek anta (ra’aita) diulang sehingga kata tersebut disebutkan dua kali. Kata pertama diikuti dengan kata samma. Samma merupakan zharf makan, yang menunjukkan tempat yang dalam kasus ini adalah surga. Artinya, kata ra’a yang pertama ini  menempati posisi lazim dalam artian tidak dijelaskan apakah yang menjadi objek kerjanya. Oleh sebab itu, yang menjadi objek untuk kata ini bersifat umum, yaitu apa saja yang dilihat di sana (surga). Imam al-Alusi menjelaskannya dengan ungkapan “Anna basharaka ainama waqa’a fi al-jannah.”[7]
Untuk kata ra’a yang memiliki dua objek, dalam Alquran diantaranya dapat dilihat pada al-Hajj [22]: 22:
... وترى الناس سكارى وما هم بسكارى...
Menurut al-Zarkasyi, kata ra’a pada ayat di atas bisa dimaknai mengetahui (al-ilm). Akan tetapi, selain itu sebenarnya kata ini juga bisa dimaknai melihat dengan panca indera. Perbedaan tersebut sebenarnya terletak kepada penentuan i’rab kata sukara. Apabila kata ini diposisikan sebagai objek (maf’ul), maka ia adalah objek kedua dari tara, dan tara di sini bermakna mengetahui. Akan tetapi, apabila sukara diposisikan sebagai hal, maka kata tara pada ayat ini bermakna melihat. Oleh sebab itu, menurut al-Zarkasyi, ayat ini adalah salah satu ayat yang memiliki redaksi ra’a yang bisa dimaknai dengan kedua makna dasar di atas, melihat (bashirah) atau mengetahui (‘ilm). Selain ayat di atas, adanya kemungkinan makna ganda ini juga terdapat dalam surat al-Hajj [22]: 2 dan al-Zumar [39]: 60.[8]
Kata ra’a merupakan salah satu fi’il mahmuz, yaitu kata kerja yang mengandung huruf hamzah.[9] Akan tetapi, dari ragam bahasa Arab, ada yang menggunakan hamzah dan ada yang tidak. Namun, untuk kata ra’a ini, ragam bahasa yang menggunakan hamzah atau tidak, sama-sama menanggalkan hamzah pada bentuk mudhari’-nya. Oleh sebab itu, bahasa Arab tidak mengungkapkannya dengan  أرأي, ترأي, يرأي, atau نرأي.  Hanya saja, penanggalan hamzah ini tidak berlaku pada bahasa Arab kaum Taim al-Ribab, mereka tetap menggunakannya pada fi’il mudhari’. Di samping itu, Alquran juga menggunakan penanggalan hamzah ini. Hal itu dapat dilihat dari beberapa ayat seperti pada al-Maidah [5]: 52, al-Shaffat [37]: 102, Saba’ [34]: 6, dan sebagainya:[10]
فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ...
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى...
وَيَرَى الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ الَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ هُوَ الْحَقَّ...

C.    Makna Lanjutan Ra’yu
Perlu digaris bawahi, kata ra’a dengan segala derivasi dan wujuh pemakaiannya tidaklah sedehana. Kata ini dalam bentuk dasarnya terdiri dari huruf ra, hamzah, dan ya’. Artinya, terdapat hurf illat pada susunannya sehingga ia menjadi fi’il mu’tal ‘ain. Keberadaan huruf hamzah juga menjadikannya fi’il mahmuz.[11] Keberadaan dua huruf ini cukup memberikan variasi yang beragam dalam derivasinya. Beberapa ahli bahasa juga memiliki beragam pendapat mengenai bentuk untuk tiap derivasinya. Dan tentunya, setiap derivasi memiliki perbedaan makna tersendiri.
Rumitnya pembahasan ra’a ini mungkin dapat dilihat dari kuantitas yang sangat besar oleh para ahli bahasa dalam membahasnya. Ibn Manzhur dalam Lisan ‘Arab menghabiskan banyak energi dalam kajian ra’a ini.[12] Dari pembahasan yang panjang tersebut, Ibnu Manzur menampilkan beragam pecahan dari kata ini. Seringkali ia juga mengutip syair-syair, hadis dan tidak ketinggalan ayat Alquran. Ibrahim Musthafa dan kawan-kawan juga telah menjelaskan beragam bentuk derivasi kata sekaligus keragaman makna yang banyak dalam kitab mereka Mu’jam al-Wasith.[13] Hal ini terlihat sepadan dengan Alquran sendiri yang juga begitu banyak menggunakan kata ini. Lebih kurang, Alquran menggunakan kata ini sebanyak 326 kali dengan 86 ragam derivasinya.[14]
Kongkritnya, dari beberapa penjelasan literatur kebahasaan, selain kepada makna-makna dasar di atas, kata ra’a juga berasosiasi kepada makna yang beragam. Hal ini dapat dilihat dari ungkapan Ibnu Manzhur sendiri:
فتكون ما ترى مرة رؤية العين ومرة مَرْئِيّاً ومرة عِلْماً ومرة مَعلوماً ومرة مُعْتَقَدا[15]
            “Maka, ungkapan ‘ma tara’ terkadang bermakna melihat dengan indera penglihatan, terkadang sebagai objek yang dilihat, mengetahui, objek yang diketahui, dan yang diyakini”
Ungkapan sederhana di atas, paling tidak menjelaskan tiga makna ra’a, melihat dengan indera, mengetahui (keduanya merupakan makna dasar), dan meyakini. Akan tetapi, makna ra’a tidaklah sebatas kepada tiga makna di atas. Ini terbukti dengan beberapa makna lainnya yang juga dijelaskan oleh Ibnu Manzhur sendiri. Ia juga menjelaskan bahwa ra’a juga bisa berarti mimpi, kombinasi antara melihat dengan mata dan hati,[16] pendapat,  zhann, riya, dan sebagainya. Sementara pada referensi lainnya disebutkan bahwa ra’a juga bisa bermakna i’tiqad, ‘aqal, tadabbur, nazhar, dan ta’ammul.[17]
Dalam artian mimpi, ra’a diungkapkan dengan ar’a al-rajulu atau ra’a fi manamihi. Formulasi mashdar-nya menjadi ru’ya (tanpa tanwin) dengan bentuk plural ru’yan (dengan tanwin). Di dalam Alquran sendiri, juga terdapat kata ra’y dengan artian mimpi:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Ayat ini bercerita mengenai mimpi nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya. Mimpi pada ayat tersebut diungkapkan dengan kata ara fi al-manami. Sebagaimana disampaikan di atas, ungkapan tersebut bermakna mimpi. Dalam tafsir al-Thabari disebutkan bahwasanya anak Nabi Ibrahim yang dikisahkan ayat ini adalah Ishaq. Dijelaskan bahwasanya sebelumnya Nabi Ibrahim telah bernazar untuk berkurban jika ia melahirkan anak dari siti Sarah. Maka, ketika Allah menganugerahkan kepada mereka seorang anak—fabasyarnahu bighulamin halimin (Q.S al-Shaffat 101)—dan anak tersebut (Ishaq) telah dewasa, Nabi Ibrahim dituntut untuk melaksanakan nazarnya. Tuntutan untuk menjalankan nazar tersebut datang kepadanya melalui mimpi. Selanjutnya, Thabari mengutip suatu riwayat yang menjelaskan bahwa mimpi seorang Rasul adalah benar dengan bukti ayat ini, bahkan menurut riwayat lainnya, mimpi seorang Rasul adalah wahyu bagi mereka.
Satu hal yang menarik, dalam ayat ini terdapat pengulangan kata ra’y sebanyak dua kali. Kata pertama, ara fi al-manami telah dijelaskan sebelumnya. Dan bagaimana dengan kata kedua? Kata ini menyatu dalam sebuah ungkapan fanzhur maza tara. Sebenarnya terdapat dua variasi qira’ah pada kata tara dalam ayat ini. Imam Qurra’ Madinah, Bashrah, dan sebagian Kuffah membacanya maza tara, artinya ayi syai’in ta’mur? Maksudnya, ketika Nabi Ibrahim menyampaikan mimpi beliau kepada anaknya, maka Nabi Ibrahim menanyakan respon atau tanggapan dari anaknya tersebut. Menurut penulis, ta’mur di sana bermakna perintah dalam artian tanggapan, apakah Ishaq menanggapinya dengan menyuruh bapaknya untuk tidak melakukan penyembelihan atas dirinya, atau sebaliknya. Sementara versi kedua, sebagian besar Qurra’ Kuffah membacanya maza tura, yang dimaknai dengan maza tusyira. Artinya, apakah yang akan kamu (Ishaq) perlihatkan dari hal ini?[18]
Selain itu, ra’a juga bisa bermakna keyakinan (i’tiqad), sebagaimana dalam ungkapan fulanun yara ra’ya al-syurati (fulan berkeyakinan seperti keyakinan pemberontak). Maksudnya, si Fulan memiliki keyakinan yang sama dengan keyakinan pemberontak. Di dalam Alquran, pemaknaan ra’a sebagai keyakinan dapat dilihat pada al-Nisa [4]: 105:
لتَحْكُم بين الناسِ بما أَرَاكَ اللهُ
Menurut Ibnu Manzhur, araka di sana bermakna yang keyakinan yang diberikan (yang diyakinkan) oleh Allah. Tidak mungkin ia bermakna memberitahu (a’lama) pada ayat tersebut. Ketika ra’a bermakna ‘alima, ia butuh kepada dua objek. Dan ketika ia berubah menjadi bab if’al, maka ia butuh objek satu lagi—seperti pada dakhala yang pada awalnya tidak butuh objek, ketika berubah menjadi bab if’al ia menjadi muta’addi dengan dimasuki satu objek, adkhala sayi’an. Artinya, kata di atas bisa dimaknai a’lama (membetitahu) apabila ia memiliki tiga objek. Akan tetapi, ayat kata pada ayat tersebut hanya memiliki dua objek, dhamir ka dan hu yang mahzuf. Oleh sebab itu, tidaklah tepat untuk memaknainnya sebagai a’lama atau memberitahu pada ayat tersebut. Lebih kurang begitulah penjelasan Ibnu Manzhur.[19]
Salah satu makna lainnya dari ra’a adalah riya. Pada taraf fi’il madhi, ra’a yang bermakna melihat atau riya adalah sama, hanya saja pada bentuk mashdar jika yang bermakna melihat menjadi ru’yan, maka yang bermakna riya menjadi riya’an.[20] Artinya, pada dasarnya kata ‘riya’ dalam bahasa Indonesia merupakan serapan dari bahasa Arab. Dan ketika ditelusuri makna riya itu sendiri dalam versi bahasa Indonesia, ia bermakna sombong, congkak, bangga (karena telah berbuat baik).[21] Pertanyaannya, apakah kata riya’un dalam bahasa aslinya, bahasa Arab juga bermakna demikian?
Alquran sendiri, juga mengandung suatu informasi mengenai sifat riya’ ini. Oleh sebab itu, jawaban pertanyaan di atas akan bisa didapatkan ketika mencari makna riya itu sendiri yang digunakan oleh Alquran. Beberapa ayat yang menggunakan term ini diantaranya pada surat al-Anfal [8]: 47, al-Nisa’ [4]: 142 dan al-Ma’un [107]: 6:
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ خَرَجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بَطَرًا وَرِئَاءَ النَّاسِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَاللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلا قَلِيلا
الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ . الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ
Fokus perhatian pada ayat 47 dari surat al-Anfal [8] kali ini adalah kata ri’a’un. Ibn Katsir menerjemahkan kata ini sebagai mufakharatun ta takabburun ‘alaihim (berbangga-bangga dan sombong terhadap mereka).[22] Melihat asbab al-nuzul ayat ini dijelaskan bahwasanya ayat ini turun berkenaan dengan sekelompok orang yang pada masa perang Badar tidak keluar dari rumah mereka untuk berperang dengan niat jihad di jalan Allah, melainkan supaya mereka dipandang dan dilihat oleh orang-orang.[23] Sementara al-Nisa [4]: 142 menjelaskan tentang karakter seorang munafik. Ayat tersebut menyebutkan bahwa orang munafik ketika melakukan shalat mereka lalai dan riya. Imam Thabari memberikan penjelasan yang lugas mengenai hal ini:
“Mengenai ‘wa iza qamu ila al-shalati qamu kusala ri’aa al-nasi’ maka maksudnnya adalah sesungguhnya orang-orang munafik tidak melakukan sesuatu amalan yang diwajibkan oleh Allah kepada orang mukmin sebagai bentuk taqarrub kepada Allah, karena mereka tidak meyakini hari kebangkitan, pahala, dan dosa. Mereka melakukan semua itu hanyalah terbatas atas motif pribadi (bukan karena kewajiban atau janji pahala dan dosa) dan didorong rasa takut kepada orang mukmin membunuh dan mengambil harta mereka. Maka mereka jika melakukan shalat, yang merupakan suatu kewajiban, mereka melaksanakannya dengan lalai dan riya’ terhadap manusia supaya mereka menyangka dia adalah mukmin dan bukan kafir, karena sebenarnya mereka tidak percaya kefardhuan shalat itu sendiri.[24]
Begitu juga dengan al-Ma’un [107]: 6. Kata yura’una pada ayat tersebut ditafsirkan sama dengan kata yang sama pada surat al-Nisa [4]: 142. Ayat ini juga menjelaskan sifat orang munafik. Mereka melakukan shalat dengan riya’. Mereka hanya melakukan shalat apabila ada orang yang melihat, sementara jika tidak ada siapa-siapa, mereka tidak melaksanakannnya.[25]
Dari beberapa penafsiran di atas, terlihatlah bahwasanya riya’un adalah suatu sikap yang keluar dari niat yang benar. Suatu perbuatan yang difardhukan oleh Allah yang semestinya dilakukan dengan niat taqarrub atau beribadah kepada Allah justru dilakukan hanya karena ingin diperhatikan oleh orang lain. Ibn Katsir juga memberikan suatu pemaknaan mufakharah dan takabbur. Artinya, seorang yang riya, melakukan suatu amalan hanya untuk bermegah-megahan, dalam artian ketika orang melihat dia melakukan sesuatu, maka ia menginginkan perbuatan tersebut menginginkan suatu penilaian atau kekaguman dari orang lain kepada dirinya. Dan ternyata, pemaknaan riya ketika telah menjadi bahasa Indonesia tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan bahasa aslinya, bahasa Arab, maupun bahasa Alquran.
Selain itu, ada beberapa uslub tertentu seputar kata ini yang memiliki makna yang khas, seperti pada gaya bahasa alam tara. Dalam Lisan al-‘Arab dijelaskan setidaknya terdapat dua model pemahaman dari uslub ini. Pertama, adalah seperti bentuk aslinya, yaitu sebagai sebuah ungkapan ta’ajjub. Uslub ini menghendaki suatu penekanan tersendiri bagi lawan bicara, sehingga diungkapkan dengan alam tara. Uslub ini dimaknai oleh Ibnu Manzhur sebagai alam ta’lam atau alam yantahi ‘ulmuka alaih (tidakkah kamu mengetahui). Artinya, terdapat muatan tertentu dalam uslub yang pada dasarnya berbentuk istifham itu, yaitu suatu muatan penekanan kepada mukhatab. Kedua, uslub ini ditafsiri dengan alam tukhbir atau a’lin. Artinya, ungkapan ini bermakna suatu perintah untuk menyampaikan objek yang sedang dibicarakan saat itu.[26] Berdasarkan kepada pemaknaan ini, beberapa ayat dalam Alquran seperti pada Ali Imran [3]: 23 dan Al-Baqarah [2]: 243.

D.    Diskursus yang mengenal konsep ra’yu: Tafsir bi al-Ra’yi
Dalam Ulumul Qur’an dikenal suatu istilah yang biasa disebut dengan tafsir bi al-ra’yi. Diskursus ini menggunakan term ra’y dalam penamaannya. Artinya, diskursus ini, penamaan atau cara kerjanya, tidak terlepas dari ikatan makna kata ra’y itu sendiri. Pertanyaannya, makna ra’y yang manakah yang digunakan oleh istilah ra’y yang berkaitan dengan tafsir ini? Sebelumnya telah disebutkan makna ra’y dari melihat, mengetahui, meyakini, mimpi, zhann, aql, tadabbur, dan sebagainya. Dan tentunya, ra’y yang terkait dengan tafsir ini tidak terlepas dari makna-makna tersebut. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita lihat lebih dekat tafsir bi al-ra’y itu sendiri.
Dari beberapa referensi Ulumul Qur’an desebutkan bahwasanya tafsir bi al-ra’yi merupakan tafsir dengan ijtihad atau dengan akal. Oleh sebab itu, selain tafsir bi al-ra’y, tafsir jenis ini juga terkadang disebut sebagai tafsir bi al-‘aqli. Muhammad Husain al-Zahabi mendefinisikan tafsir jenis ini dengan menafsirkan Alquran dengan ijtihad setelah si penafsir mengetahui ungkapan-ungkapan Arab dan maksud mereka dalam berujar, lafaz-lafaz ‘Arab dan istidlal-nya, juga merujuk kepada syair-syair kuno Arab, mengetahui asbab al-nuzul dan nasikh wa mansukh, serta hal-hal lainnya yang dibutuhkan dalam penafsiran.[27] Pendefinisian senada juga disampaikan oleh Khalid ‘Abdurrahman al-Maki dalam kitabnya Ushul al-Tafsir wa Qawaiduhu.[28]
Selain itu, al-Zarqani dengan lugas menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ra’y di sini adalah ijtihad.[29] Oleh sebab itu, demi melihat kaitan maknanya yang jelas, perlu dijelaskan juga makna dari ijtihad itu sendiri. Wahbah al-Zuhaili menjelaskan bahwa ijtihad adalah suatu ungkapan yang berkaitan dengan pengerahan tenaga untuk menyelesaikan suatu perkara. Menurutnya, ijtihad berkaitan dengan usaha keras, tidak dengan usaha sederhana. Oleh sebab itu, ijtihad cocok disebut untuk seseorang yang mengangkat batu yang besar dan berat, akan tetapi tidak untuk mengangkat kerikil kecil dan ringan. Selain itu, Wahbah al-Zuhaili juga menguti definisi ijtihad dari al-Amidi, yaitu suatu usaha keras demi mendapatkan suatu ilmu (zhann) terhadap suatu perkata syar’i.[30]
Dari penjelasan di atas, terlihatlah relevansi antara makna kata ra’y dengan tafsir bi al-ra’y itu sendiri. Salah satu makna dari ra’y adalah akal, sementara tafsir bi al-ra’y juga disebut dengan tafsir bi al-‘aqli. Tafsir bi al-ra’y merupakan tafsir yang menggunakan ijtihad dalam prosesnya. Sementara ijtihad itu sendiri merupakan suatu usaha keras yang dilakukan untuk mendapatkan sebuah zhann. Dan pada sisi lainnya, zhann juga merupakan salah satu makna dari ra’y.

E.     Kesimpulan
Kata ra’yu merupakan kata yang sangat populer dalam bahasa Arab, karena kata ini berkaitan dengan aktifitas vital manusia. Dari maknanya, kata ini bisa dibagi menjadi dua kelompok: makna dasar dan makna lanjutan. Makna dasar kata ini berbeda sesuai dengan perbedaan jumlah objeknya. Apabila ia memiliki satu objek, maka ia bermakna melihat dengan indera penglihatan. Dan apabila ia memiliki dua objek, maka ia berarti mengetahui dengan hati atau akal. Alquran pun menggunakan kedua makna ini. Beberapa ayat menggunakan ra’yu dengan makna pertama, makna kedua, dan bahkan dualisme pemaknaan.
Untuk makna lanjutan, kata ini dapat dimaknai dengan beragam makna, seperti meyakini, mimpi, i’tiqad, ‘aqal, tadabbur, nazhar, ta’ammul, dan sebagainya. Seperti sebelumnya, Alquran juga banyak menggunakan pemaknaan-pemaknaan tersebut dalam banyak ayat.
Selain itu, kata ra’yu juga dibahas dalam diskursus tertentu, yang dalam hal ini adalah tafsir bi al-ra’y. Tafsir bi al-ra’y adalah tafsir dengan ijtihad seorang mufassir yang mesti memiliki kemampuan tertentu. Ra’yu dalam bentuk independen sebagai kata dengan ra’yu yang telah dikaitkan dengan tafsir memiliki hubungan makna tersendiri. Salah satu makna dari ra’y adalah akal, sementara tafsir bi al-ra’y juga disebut dengan tafsir bi al-‘aqli. Tafsir bi al-ra’y merupakan tafsir yang menggunakan ijtihad, sementara ijtihad itu sendiri merupakan suatu usaha keras yang dilakukan untuk mendapatkan sebuah zhann. Dan pada sisi lainnya, zhann juga merupakan salah satu makna dari ra’y.
Wallahu A’lamu bi al-Shawwabi!



DAFTAR PUSTAKA




al-Maki, Khalid ‘Abdurrahman. Ushul al-Tafsir wa Qawaiduhu. Beirut: Dar al-Nafais. 1986.

al-Zarqani, ‘Abdul ‘Azhim. Manahil al-‘Irfan fi Ulum al-Qur’an Juz 2. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi. 1995.

al-Zuhaili, Wahbah. Ushul Fiqh al-Islami Juz 2. Damaskus, Dar al-Fikr. 1986.

Baqi, Muhammad Fu’ad ‘Abdul. Mu’jam Mufahras li Alfazi al-Qur’an al-Karim. Kairo: Dar al-Hadis. 1324H.

Munawwir, A. W. Kamus al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progresif. 1997.

Najjar, Muhammad dkk. Mu’jam al-Wasit Muhaqqiq: Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah. Mesir: Maktabah Syuruq al-Dauliyah. 2004.

Ni’mah, Fu’ad. Mulakhkhas Qawaid al-Lughah al-‘Arabiyah Jild 2. Beirut: Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah. t.th.

Pusat Bahasa Diknas, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hlm. 1303.

Zahabi, Husain. ‘Ilmu al-Tafsir. Kairo: Dar al-Ma’arif. t.th.


Referensi al-Maktabah al-Syamilah Isdar al-Sani
Al-Jauhari, al-Shahah fi al-Lugah Jilid 1

Manzhur, Ibn. Lisan al-‘Arab

al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an

Al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an

Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim wa Sab’i al-Masani

Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim




[1] Dalam kamus al-Munawwir dijelaskan beragam pemaknaan terhadap kata ini, dan diantaranya adalah melihat dan menyangka itu sendiri. lihat A. W. Munawwir, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 460.
[2] Al-Jauhari, al-Shahah fi al-Lugah Jilid 1, hlm. 233 (al-Maktabah al-Syamilah Isdar al-Sani); Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab Jilid 14, hlm. 291. (al-Maktabah al-Syamilah Isdar al-Sani)
[3] Fu’ad Ni’mah, Mulakhkhas Qawaid al-Lughah al-‘Arabiyah Jild 2 (Beirut: Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah, t.th), hlm 78.
[4] Al-Jauhari, al-Shahah fi al-Lugah Jilid 1, hlm. 233: Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab Jilid 14, hlm. 291; al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an Juz 4, hlm. 149. (al-Maktabah al-Syamilah Isdar al-Sani)
[5] al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an Juz 4, hlm. 149.
[6] Al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an Juz 24, hlm. 111. (al-Maktabah al-Syamilah Isdar al-Sani)
[7] Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim wa Sab’i al-Masani juz 22, hlm. 19. (al-Maktabah al-Syamilah Isdar al-Sani)
[8] al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an Juz 4, hlm. 149.
[9] Fu’ad Ni’mah, Mulakhkhas Qawaid al-Lughah ..., hlm 63.
[10] Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab Jilid 14, hlm. 291.
[11] Mu’tal adalah kata kerja yang mengandung salah satu huruf illat, yaitu alif, ya, dan wawu. Lihat: Fu’ad Ni’mah, Mulakhkhas Qawaid al-Lughah ..., hlm 63.
[12] Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab Jilid 14, hlm. 291.
[13] Muhammad Najjar dkk. Mu’jam al-Wasit Muhaqqiq: Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah (Mesir: Maktabah Syuruq al-Dauliyah, 2004), hlm. 320.
[14] Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, Mu’jam Mufahras li Alfazi al-Qur’an al-Karim (Kairo: Dar al-Hadis, 1324H), hlm. 280-285.
[15] Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab Jilid 14, hlm. 291.
[16] Ini sebagaimana kutipannya dari Ibnu Sayyidah. Artinya, ra’a juga bermakna melihat yang tidak hanya bersifat kongrit dengan mata, akan tetapi juga dipadu dengan yang abstrak dengan hati. Hal ini berarti ra’a juga berasosiasi kepada menalar. Lihat Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab Jilid 14, hlm. 291.
[17] Muhammad Najjar dkk. Mu’jam al-Wasit Muhaqqiq: Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah (Mesir: Maktabah Syuruq al-Dauliyah, 2004), hlm. 321.
[18] Al-Thabari, Jami’ al-Bayan... Juz 21, hlm. 74-75.
[19] Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab Jilid 14, hlm. 291.
[20] Muhammad Najjar dkk. Mu’jam al-Wasit Muhaqqiq: Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah (Mesir: Maktabah Syuruq al-Dauliyah, 2004), hlm. 321.
[21] Pusat Bahasa Diknas, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hlm. 1303.
[22] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim Jild 4, hlm. 72 (al-Maktabah al-Syamilah Ishdar al-Tsani)
[23] Al-Thabari, Jami’ al-Bayan.... Jild 13, hlm. 578.
[24] Al-Thabari, Jami’ al-Bayan... Jild 9, hlm. 331.
[25] Al-Thabari, Jami’ al-Bayan... Jild 24, hlm. 631.
[26] Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab Jilid 14, hlm. 291.
[27] Husain Zahabi, ‘Ilmu al-Tafsir (Kairo: Dar al-Ma’arif, t.th). hlm. 47.
[28] Khalid ‘Abdurrahman al-Maki, Ushul al-Tafsir wa Qawaiduhu (Beirut: Dar al-Nafais, 1986), hlm. 167.
[29] ‘Abdul ‘Azhim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi Ulum al-Qur’an Juz 2 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1995), hlm. 42.
[30] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami Juz 2 (Damaskus, Dar al-Fikr, 1986), hlm. 1037.

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...