WELLCOME TO MY SIMPLE BLOG. PELASE ENJOY IT... ....!!!

Selasa, 03 Januari 2012

SEKILAS TENTANG ILMU TAJWID


PENDAHULUAN

Al-Quran merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw dan belum tertandingi bahkan tidak akan mungkin ada satu makhlukpun yang mampu menandinginya. Hal ini telah dijanjikan oleh Allah swt:
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.(Q.S. al-Baqarah [2]: 23)

Selain ayat di atas Allah juga telah menjelaskan bahwa manusia dan jinpun tidak akan bisa membuat sesuatu yang menyerupai al-Quran:

Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain".(Q.S. al-Isra’[17]: 88)

Semenjak kehadirannya, al-Quran telah mendapat banyak respon dan apresiasi; dari cara membacanya timbullah Ilmu Tajwid dan Ilmu Qiraat, dari penulisannya muncul kaligrafi dan sebagainya. Di Indonesia khususnya, sebagai penduduk muslim terbesar di dunia masih kurang pengetahuan tentang ilmu tajwid. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya program “Bebas Buta Aksara Al-quran” yang sedang digalakkan oleh pemerintah dalam beberapa tahun terakhir.
Pada kesempatan kali ini, penulis akan mencoba memberikan sedikit pengetahuan tentang sejarah Ilmu Tajwid, definisi dan hukum mempelajarinya.


1.        Sejarah Ilmu Tajwid
Tidak banyak kitab dan penjelasan mengenai sejarah timbulnya ilmu tajwid secara terperinci. Ilmu tajwid dengan beragam istilah yang ada di dalamnya secara teori itu memang ditulis bukan di masa Rasulullah SAW. Di masa Rasulullah SAW masih hidup, tiap orang Arab sudah tahu bagaimana cara membaca atau melafazkan Al-Qur’an dengan baik dan benar. Bahkan meski orang itu belum masuk agama Islam sekalipun. Sebab Al-Qur’an memang diturunkan kepada mereka dan dalam bahasa mereka, meski isinya untuk seluruh manusia sedunia. Maka di masa Rasulullah SAW memang nyaris tidak dibutuhkan ilmu tajwid.
Ketika agama Islam melebarkan sayap ke seluruh dunia, lalu orang-orang non Arab masuk Islam berbondong-bondong, mulailah timbul problem dalam membaca Al-Quran. Lidah mereka sulit sekali mengucapkan huruf-huruf yang ada di dalam Al-Quran. Misalnya huruf ‘dhad’ yang ternyata tidak pernah ada di dalam semua bahasa manusia. Sehingga bahasa arab dikenal juga dengan sebutan bahasa ‘dhad’.
Maka dibutuhkan sebuah disiplin ilmu tersendiri tentang bagaimana cara membaca Al-Qur’an yang baik dan benar, sesuai dengan makhraj masing-masing huruf dan sifat-sifatnya. Juga bagaimana cara melafalkannya, membacanya dari mushaf dan seterusnya. Sebab di masa Rasulullah SAW mushaf yang ada masih terlalu sederhana tulisannya. Kalau bukan orang arab, mustahil ada yang bisa membacanya. Ilmu itu dinamakan ilmu tajwid yang berfungsi menjelaskan bagaimana cara membaca dan membaguskan bacaan Al-Qur’an.
Dalam tarikh Islam, disebut-sebut nama Abul Aswad Ad-Du’ali yang berjasa dalam membuat harakat (tanda baris) pada mushaf Al-Quran. Juga membuat tanda-tanda berhenti dalam membacanya (waqaf). Beliau masih termasuk dalam jajaran tabi’in, yaitu satu lapis generasi setelah sahabat Rasulullah. Disebut-sebut bahwa beliau melakukannya atas perintah dari Ali bin Abi Thalib. Setelah itu, para ulama dari berbagai penjuru negeri Islam mulai berlomba menyempurnakan apa yang telah beliau rintis. Sehingga akhirnya ilmu tajwid menjadi semakin lengkap hingga sekarang ini.
Ilmu tajwid bisa dibedakan berdasarkan praktik maupun teorinya. Yang dimaksud seorang menguasai ilmu tajwid secara praktik adalah bila seseorang mampu membaca Al-Qur’an dengan benar sesuai dengan makharijul huruf dan aturan-aturannya. Sedangkan yang dimaksud dengan menguasai ilmu tajwid secara teori adalah mengetahui hukum-hukum tajwid lengkap dengan istilah-istilahnya.
Antara keduanya bisa dikuasai secara terpisah atau bisa menyatu. Misalnya, ada orang yang bisa membaca Al-Qur’an dengan benar dan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu tajwid meski tidak bisa menerangkan istilah-istilah hukum bacaan itu. Dan sebaliknya, bisa jadi ada orang yang secara teori paham dan hafal betul semua aturan teoritik cara membaca Al-Qur’an, tapi giliran disuruh membacanya, bacaannya justru amburadul dan berantakan.
Sehingga bila dipisahkan antara ilmu tajwid secara teori dan praktik, maka hukumnya menguasai ilmu tajwid secara teori adalah sunnah buat setiap muslim. Tapi ilmu itu tetap sangat berguna untuk mengajarkan cara bacaan, sehingga harus tetap ada sekelompok tertentu dari umat Islam dengan jumlah cukup di mana mereka menguasai ilmu itu secara teori dan praktik. Sehingga kedudukan hukumnya bisa mencapai derajat fardhu kifayah bagi tubuh umat Islam secara kolektif.
Namun menguasai ilmu tajwid secara praktik wajib hukumnya bagi tiap individu muslim. Dan seseorang tidak bisa disebut sudah bisa baca Al-Qur’an bila tidak menguasai ilmu tajwid secara praktik. Allah berfirman: 
Berkatalah orang-orang yang kafir, “Mengapa Al Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil.(Al-Furqan: 32)

Dan bacalah Al Qur’an itu dengan tartil. (Al-Muzzammil : 4)

Sebagai seorang muslim, maka kewajiban kita adalah membaca Al-Qur’an persis sebagaimana dibacakan oleh Malaikat Jibril kepada Rasulullah SAW. Apa yang kita dengar itulah yang harus diikuti dan dibaca. Lepas dari bagaimana bentuk tulisannya atau apa nama hukumnya. Sebab tulisan dan istilah hukum bacaannya adalah sesuatu yang datang kemudian. 

Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. (Al-Qiyamah: 18).


2.        Definisi Ilmu Tajwid
Menurut etimologi, tajwid merupakan bentuk mashdar dari kata جوّد – يجوّد – تجويدا  yang memiliki arti membikin bagus, baik/lebih baik. Sedangkan secara terminologi, tajwid adalah mengeluarkan bacaan pada tiap-tiap huruf dari makhrojnya dan memberikan pada huruf-huruf tersebut hak dan mustahaknya.
Hak-hak huruf adalah sifat-sifat lazim yang tidak pernah lepas dari huruf tersebut seperti Jahr, Syiddah, Isti’la’, Ithbaq, Qalqalah daqn lain sebagainya. Adapun  mustahak huruf adalah sifat-sifat baru (‘aridhoh) yang datang pada saat-saat tertentu dan terpisah pada saat-saat yang lain karena adanya salah satu dari beberapa sebab, seperti Tarqiq (ترقيق ) yang timbul dari sifat Istifal (إستفال) atau Tafkhim (تفخيم) yang timbul dari sifat Isti’la’ (إستعلاء) demikian juga bacaan izhar, idghom, iqlab dan ikhfa’.
Sedangkan menurut sebagian literatur, ilmu tajwid ialah suatu ilmu pengetahuan cara membaca al-Quran dengan baik dan tertib menurut makhrojnya, panjang-pendeknya, tebal-tipisnya, berdengung atau tidak, irama dan nadanya, serta titik komanya sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw kepada para sahabatnya. Oleh para sahabatnya diajarkan kepada tabi’in dan oleh tabi’in kepada tabi’ tabi’in hingga kepada kita umat muslim sekarang.
            Orang yang pertama meletakkan dasar-dasar ilmu tajwid bila ditinjau dari aspek keilmuan adalah Rasulullah saw karena al-Quran diturunkan kepada beliau melalui malaikat Jibril. Sedangkan dari kalangan ulama’ banyak pendapat yang kontradiktif. Diantaranya mengatakan bahwa Abu Aswad Ad-Du'alilah yang meletakkan dasar-dasar ilmu tersebut. yang lainnya berpendapat bahwa Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam, dan Imam Khalil bin Ahmad.

3.        Hukum Mempelajari Ilmu Tajwid
Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum mempelajari ilmu tajwid adalah wajib. Mereka mengambil ayat:

Dan bacalah Al Qur’an itu dengan tartil. (Al-Muzzammil : 4)
Hal ini dikarenakan pada ayat tersebut Allah memakai shighot fi’il amr yang merupakan bentuk perintah. Maka perintah itu hukumnya wajib. Adapun pendapat lain mengatakan bahwa hukum mempelajarinya adalah Fadhu ‘Ain bagi setiap mukallaf yang hafal al-Quran semuanya atau sebagian, walaupun hanya satu surat. Hukum tersebut berdasarkan:
1.      Dasar hukum dari al-Quran :
Imam Ali ketika ditanya tentang arti tartil dalam Q.S al-Muzammil : 4, beliaupun menjawab:
تجويد الحروف و معرفة الوقوف
“tartil adalah memperbaiki bacaan dan mengetahui tempat-tempat berhenti”
2.      Dasar hukum dari hadits:
Hadis yang diriwayatkan oleh al Hafidz jalaluddin as-Suyuti dalam kitabnya  دار المنثور في التفسير بالمأثور , beliau meriwayatkan imam at-Tabroni bahwasanya Ibnu Mas’ud r.a. mendengarkan seorang laki-laki membaca ayat  إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا , laki-laki tersebut membacanya dengan tanpa memanjangkan bacaan yang seharusnya dibaca panjang. Maka berkatalah Ibnu Mas’ud: “tidak seperti itu Rasulullah membacakannya kepadaku”. Laki-laki itu bertanya: “Bagaimanakah Rasulullah membacakannya kepadamu?” kemudian Ibnu Mas’ud membaca ayat tersebut dengan benar.
3.      Dasar hukum dari Ijma’:
Al-‘Allamah Syaikh Muhammad Maki Nashor berkata dalam kitabnya 
نهاية القول المفيد  yang artinya: sesungguhnya para ulama telah sepakat atas wajibnya menggunakan ilmu tajwid sejak zaman Nabi hingga sekarang dan tidak ada seorangpun yang menentang pendapat tersebut.
Namun selain beberapa pendapat tersebut, ada yang lebih menspesifikasikan antara mempelajari dengan mengamalkan. Menurutnya mempelajari ilmu tajwid bersifat fardhu kifayah namun mengamalkannya bersifat fardu ‘ain.

4.        Tingkat-Tingkat Bacaan Tartil
Ahlul ada’ sepakat bahwa tingkat-tingkat bacaan al-Quran ada tiga:
1)      Tahqiq (تحقيق)
Yaitu membaca dengan memberikan haknya pada tiap-tiap huruf, membaca huruf sesuai dengan makhraj dan shifatnya, serta melafadzkannya dengan tenang dan perlahan-lahan, juga memperlihatkan kalimat-kalimat yang diperbolehkan untuk waqaf dan ibtida’.

2)      Hadr (حدر)
Yaitu membaca dengan cepat dan ringan, akan tetapi tetap berdasarkan hukum-hukum bacaan yang benar dan riwayat qiraat yang shahih, serta tetap menjaga pada lurusnya lafadz dan kedudukan hurufnya.

3)      Tadwir (تدوير)
Yaitu membaca dengan cara antara تحقيق dan حدر. Ketiga macam bacaan tersebut masuk kedalam kategori tartil.
     Dari ketiga bacaan tersebut, yang paling utama adalah dengan تحقيق kemudian تدوير dan yang paling rendah adalah حدر.

5.        Simpulan dan Penutup
Dari penjelasan singkat diatas dapat diambil beberapa kesimpulan:

1)      Ilmu Tajwid merupakan salah satu ilmu yang utama karena berhubungan langsung dengan al-Quran.
2)      Minimnya data mengenai sejarah timbulnya ilmu tajwid.
3)      Ilmu tajwid telah ada semenjak turunnya al-Quran.
4)      Mempelajari ilmu tajwid hukumnya fardhu kifayah namun mengamalkannya adalah fardhu ‘ain.

Demikianlah penjelasan singkat mengenai sejarah ilmu tajwid. Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam makalah ini. Semoga dengan data yang minim ini membuka hati kita untuk menelitinya lebih jauh.




DAFTAR PUSTAKA

Al-A’zami, M.M. Sejarah Teks Al-Quran. Sohirin Saolihin dkk. (ter.). Jakarta: Gema Insani, 2005.

Alam, Tombak. Ilmu Tajwid Populer. Jakarta: Bumi Aksara, 2004.


Khon, Abdul Majid. Praktikum Qira’at. Jakarta: Amzah, 2007.

Munawwir, A.W. Kamus Al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.

Munjahid. Strategi Menghafal Al-Quran. Yogyakarta: Idea Press, 2007.

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...