WELLCOME TO MY SIMPLE BLOG. PELASE ENJOY IT... ....!!!

Minggu, 15 Januari 2012

KITAB RIYADH AL-SHALIHIN DAN PESANTREN


I.      Pendahuluan
Hadis yang merupakan sumber ajaran Islam nomer dua setelah al-Qur’an, telah dikaji semenjak masa awal Islam hingga sekarang. Tidak hanya umat Islam sendiri yang tertarik, sarjana nonMuslimpun – orientalis – tertarik untuk mengkajinya. Untuk menjaganya, para ulama mulai mengumpulkan hadis-hadis yang “berceceran” dan disatukan dalam kitab musnad, sunan dan mu’jam-mu’jam. Di antara para ulama yang memberikan perannya dalam menjaga dan menulis hadis adalah Imam Abu Zakariyā’ Yahyā Ibn Syarifudin al-Nawāwī (631-676 H), yang termasuk dalam jajaran ulama besar di abad ke-7 Hijriah. Beliau memiliki hasil karya yang banyak dan bermanfaat dalam pembahasan yang beraneka ragam, karya-karya beliau telah mendapatkan pujian dan sanjungan serta perhatian yang besar dari para ulama sehingga mereka mempelajari, mengambil faedah dan menukil dari karya-karya beliau tersebut.
Salah satu karya beliau yang cukup populer adalah kitab Riyādhus Shālihīn. Hampir seluruh kaum muslimin di seluruh dunia mengkaji dan membaca kitab al-Nawāwī ini, tidak terkecuali Indonesia dengan pendidikan pondok pesantren-nya juga ikut andil. Kitab ini cukup ringkas, tetapi isi kandungannya banyak memberikan pelajaran, dan nasihat dari Rasulullah SAW.
            Dalam makalah ini penulis berusaha mendeskripskan sosok al-Nawawi dan Kitabnya tersebut, serta segala hal-hal yang berkaitan dengannya, baik dari sejarah penulisan, metode dan sistematika terhadap kitab tersebut. Dan tidak lupa pula penulis mencoba meneliti seberapa besar penyebaran kitab tersebut dengan meneropong penggunaan kita tersebut di beberapa pesantren Indonesia. Sample yang diambil adalah pondok-pondok penerima PBSB (Program Beasiswa Santri Berprestasi) UIN Sunan Kalijaga karena lebih mudah di akses dan dirasa cukup mewakili bebeapa wilayah di Indonesia.
Sekilas Biografi Imam Al-Nawāwī
  1. Nama dan Nasab, tahun kelahiran dan wafatnya
Beliau adalah al-Imam Abu Zakariya’ Yahya Ibn Syarīfudin al-Nawāwī.[1] Dilahirkan di sebuah perkampungan yang bernama “Nawa” pada Bulan Muharram tahun 631 H di perkampungan ‘Nawa’ dari dua orang tua yang shalih. Beliau dianggap sebagai syaīkh (soko guru) di dalam madzhab Syafi’i. [2] Seorang ulama ahli fiqih dan ahli hadis[3] yang terkenal pada zamannya.
Ayahnya bernama Syaraf Ibn Murry seorang pemilik toko di Nawa. Ibnu al-Athar, salah seorang murid setia Imam Nawawī memuji ayahnya sebagai syekh waliyullah yang zahīd dan wara’.
Pada tahun 649 H – saat berumur 18 tahun – ia bersama  bapaknya menuju kota Damsyiq yang saat itu dikenal sebagai pusat keilmuan dunia Islam. Babak baru hidupnya dirangkai di kota ini. Ia memulai karirnya sebagai thalib al-ilmi, beliau mendatangi syeikh Jamaluddin Abdul Kafi. Namun belum secuilpun Nawawi mencicipi ilmunya, Jamaluddin  malah menyarankan agar Nawawi mengikuti halaqah mufti Syam, yang saat itu adalah syekh al-Tāj al-Firkah yang tak lama kemudian merekomendasikannya untuk belajar di madrasah Rawahiyyah bersama syekh al-Kamal Ishāq al-Maghribi.[4]
Kemudian pada tahun 660 H saat baru berusia 30-an, beliau produktif di dalam menelurkan karya tulis. Beliau telah berminat terhadap dunia tulis-menulis dan menekuninya. Dalam karya-karya beliau tersebut akan didapati kemudahan di dalam mencernanya, keunggulan di dalam argumentasinya, kejelasan di dalam kerangka berfikirnya serta keobjektifan-nya di dalam memaparkan pendapat-pendapat Fuqaha‘. Pada tahun 665 H saat baru berusia 34 tahun, beliau sudah menduduki posisi “Syaikh” di Dar al-Hadīs dan mengajar di sana. Tugas ini tetap dijalaninya hingga beliau wafat[5] pada tanggal 24 Rajab 676 H dan dimakamkan di Nawa sebagaimana permintaannya.[6]
  1. Pribadinya
Para ahli fiqih sepakat, bahwa Imam al-Nawāwī adalah seorang yang ’alim, wara’[7], zuhud, dhābit dan  bertaqwa.[8] Karena kezuhudannya, beliau hidup bersahaja dan mengekang diri sekuat tenaga dari kungkungan hawa nafsu. Beliau mengurangi makan, sederhana di dalam berpakaian dan bahkan beliau tidak sempat untuk menikah. Kenikmatan di dalam menuntut ilmu seakan membuat dirinya lupa dengan semua kenikmatan itu. Beliau seakan sudah mendapatkan gantinya.
Di antara indikator kezuhudannya adalah ketika beliau pindah dari lingkungannya yang terbiasa dengan pola hidup ’seadanya’ menuju kota Damaskus yang ‘serba ada’ dan penuh glamour. Perpindahan dari dua dunia yang amat kontras tersebut sama sekali tidak menjadikan dirinya tergoda dengan semua itu, bahkan sebaliknya semakin menghindarinya.
Sejak kecil, Imam an-Nawawi tidak suka bermain sebagaimana layaknya anak kecil, beliau lebih suka mengaji al-Qur’an daripada untuk bermain-main sehingga banyak anak-anak sebaya yang membencinya. Dengan demikikan, maka ketika menginjak baligh, beliau sudah hafal al-qur’an lengkap 30 juz.[9]
C.   Guru-guru, murid-murid dan karya-karyanya[10]:
1. Guru-gurunya
Di antara ulama’ yang menjadi gurunya adalah; Syaīkh Abdul Azīz Ibn Muhammad al-Anshariy, Zainudīn Abdul Daim, ‘Imadudīn Ibn Abdul Karīm al-Khurasaniy, Zainuddīn abi al-Baqa’ Khalīd IbnYusaf al-Miqdasiy al-Nabilsiyy, Jamaluddin Ibn Abi Yasir, Syamsudin Ibn Abi Umar, dan lain-lain.
2.      Murid-muridnya
Adapun murid-muridnya antara lain; Shadruddīn Sulaiman al-Ja’fary, Syihabuddīn al-Arbadiy, Syihabuddin Ibn  Ja’wan, ‘Ilauddīn al-‘Athar, Ibn Fath, al-Mazī, dan lain-lain.
3.      Karya-karyanya
Imam al-Nawāwī meninggalkan banyak sekali karya ilmiah yang terkenal. Jumlahnya sekitar empat puluh kitab, diantaranya: Syarah Shāhih Muslim, al-Irsyād, al-Taqrīb, Tahdzīb al-Asma’ wa al-Lughāt, al-Manāsik al-Sughrā, al-Kubrā, Minhaj al-Thālibīn, Bustān al-‘Arifin, Khulashāh al-Ahkām fī Mahmāt al-Sunan wa Qawāid al-Islām, Raudhāh al-Thālibīn fi ‘Umdāh al-Muftin, Syarah al-Mahdzāb, Riyādh al-Shālihin, Hāliyyah al-Abrār wa Syi’ār al-Ahyār fī Talkhish al-Da’wat wa al-Adzkār, al-Tibyān fī Adāb Hamalāh al-Qur’ān, dan lain-lain.
Karya-karya Imam al-Nawāwī terbagi 3 macam: 1. karya yang selesai sempurna penulisannya, seperti: Syarh Muslim, al-Raudhāh, Riyadhus Shālihin, dll 2. karya yang belum selesai karena beliau telah wafat lebih dulu, seperti: al-Majmu Syarh al-Muhadzāb, Syarh al-Wasith, Syarh al-Bukhāri, dll 3. karya yang dihapus karena alasan-alasan tertentu.[11]

II.       Mengenal Kitab Riyādh al-Shālihīn
  1. Setting Sosio-Historis Penulisan Kitab
Pada tahun 1265 M, setelah mengalahkan bangsa Tartar di Syam, Al-Zahir Baybars I atau Rukn al-Din Abu al-Futuh Baybars al-Turky, seorang raja koptik mesir keturunan Turki meminta fatwa dari ulama-ulama Syam agar diperbolehkan mengambil harta dari baitul mal atas usaha mereka meluluhlantakkan bangsa Tartar yang selama ini menguasai Syam. Dengan iming-iming harta atau juga karena takut, sebagian ulama Syam memberikan fatwanya dan sebagian lagi dibunuh karena menolak memberikan persetujuannya.
Dari seluruh ulama Syam, hanya tinggal seorang lagi yang belum dipanggil memberikan fatwanya. Setelah dipanggil, ulama ini datang dengan tubuh kurus dan pakaian yang jauh dari kesan mewah. Namun saat diminta fatwanya, dengan tegas ulama tadi menolak karena menurut beliau, dalam teks fatwa buatan raja Baybars I hanya berisi kedzaliman. Maka semakin hebatlah kemarahan raja Baybars I. Lalu dengan digdayanya, dia meminta pembesar-pembesar kerajaannya untuk mencopot ulama tadi dari segala pekerjaannya. Lagi-lagi nihil, karena ulama tadi tak memiliki pekerjaan apa-apa. Namun raja Baybars I tidak membunuhnya, bahkan beliau membebaskannya dengan mengusirnya keluar dari Syam. Pembesar-pembesarnya pun tergoda untuk bertanya: “Ajaib sekali kau tak membunuhnya, padahal kau telah melakukannya pada ulama-ulama lain yang menolak titahmu?”. Dengan gemetar dan nada ketakutan raja Baybars I menjawab, “Aku melihat dua binatang pemangsa (predators) keluar dari balik pundaknya dan ingin menerkamku, maka aku urung membunuhnya”.
Di kemudian hari sejarah mencatat ulama yang selamat dari pembunuhan tadi tidak lain adalah al-Imam Nawawī.[12] Jika menilik cerita di atas, maka bisa disimpulkan  bahwa al-Nawāwī hidup di akhir masa dinasti Ayyubiyyah dan pada masa raja Barbarys I (1260-1277M) salah seorang keturunan raja-jaja koptik Mesir. Dan pada masanya juga, bisa dikatakan bahwa keilmuan Islam sedang menuju klimaksnya, karena pada abad-7 H, telah muncul dan tersebar ulama-ulama besar Islam yang masyhur di bidangnya, seperti: Ibnu Sholah (muhaddis), Al-Rofi’i (ulama besar fiqh Syafi’i), Ibnu an-Nadhim (sejarawan), Muhyiddin ibnu Arobi (sufi), dll. Dan tidak menutup kemungkinan bahwa al-Nawāwī juga banyak memberikan kontribusi keilmuan melalui karyanya Riyādh al-Shālihīn sebagai petunjuk menuju kepada kesalehan hati bagi yang menginginkannya. 
  1. Sistematika Kitab
Sistematika yang disusun oleh al-Nawāwī dengan sangat sistematis. Kitab ini terdiri dari 1 Juz 18 kitab, 372 bab dan 1897[13] hadis. Hadis-hadis dikelompokkan ke dalam bab-bab berdasarkan tema utama, misalnya shalat, zakat, jihad, doa, Qur’an, dan sebagainya. Beliau membuka bab-babnya dengan menyebut ayat-ayat dari al-Quran yang sesuai dengan pembahasan hadis yang lalu membuat tertib dan bab yang saling berhubungan.[14]
Secara rinci sistematika kitab Riyādh al-Shālihīn dapat dilihat sebagai berikut:[15]
    1. Khutbah al-kitab terdiri atas 78 bab
    2. Kitab al-Adab, terdiri atas 16 bab
    3. Kitab Adab al-Tha’ăm, terdiri atas 17 bab
    4. Kitab al-Libas, terdiri atas 10 bab
    5. Kitab Adab al-Naum wa al-Idhthijah, terdiri atas 3 bab
    6. Kitab al-Salam, terdiri atas 13 bab
    7. Kitab ’Iyadat al-Maridh wa Tasyyit al-Mayyit, terdiri atas 21 bab
    8. Kitab al-Safar, terdiri atas 14 bab
    9. Kitab al-Fadhail, terdiri atass 52 bab
    10. Kitab al-I’tikaf,  terdiri atas 1 bab
    11. Kitab al-Hajj, terdiri atas 1 bab
    12. Kitab al-Jihad, terdiri atas 6 bab
    13. Kitab al-‘Ilm, terdiri atas 1 bab
    14. Kitab al-Shalah ’Ala Rasulillah Saw., terdiri atas  1 bab
    15. Kitab al-Adzkar, terdiri atas 6 bab
    16. Kitab al-Da’awat, terdiri atas 3 bab 
    17. Kitab al-Umur al-Man’ha ‘Anha, terdiri atas 126 bab
    18. Kitab al-Mantsurat wa al-Mullah, terdiri atas 1 bab
    19. Kitab al-Istighfar, terdiri atas 1 bab.
  1. Metode Kitab dan Kualitas Hadis-hadisnya
Dalam menyusun kitabnya, al-Nawāwī menempuh metode yang baik. Yakni dengan mencantumkan ayat-ayat al-Qur’an kemudian menghimpun matan-matan hadis yang senada atau setema dalam menjelaskan tema yang diusung. Terkadang menyebutkan kualitas-kualitas hadis menurut periwayat yang lain. Dan memberikan sedikit keterangan dalam catatan kaki.
Dalam penjelasan kitabnya disebutkan dalil hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, Nasa’i. Namun periwayat hadis yang lebih mendominasi adalah dari riwayat Muttafaq ‘Alaih. Ini dikarenakan beliau telah menilai hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan muslim bernilai shahih. Hal ini juga dapat diketahui ketika beliau meriwayatkan suatu hadis selain dari Bukhari atau Muslim, maka dalam penjelasannya dijelaskan karena hadis tersebut telah dishahihkan menurut syarat Muttafaq ’Alaih dilihat dari segi sanad atau matannya.
Contoh hadis dalam kitab Riyadhus Shalihin no. 4 hlm. 153:
 وَعَن أبى عَلِيٍّ رضي الله عنه أنّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: إِذَا الرَّجُلُ دَعَا زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ وَإِنْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّور. رواه التومذي.س حَدِيثٌ حَسَنٌ.

Oleh Imam al-Nawāwī dalam kitabnya, disebutkan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadis hasan. Namun setelah dilakukan pengecekan hadis dalam Maushu’ah Hadis al-Syarif: redaksi hadisnya adalah:[16]
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا مُلَازِمُ بْنُ عَمْرٍو قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بَدْرٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقٍ عَنْ أَبِيهِ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا الرَّجُلُ دَعَا زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ وَإِنْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّورِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ.

Ditemukan bahwa ada pendapat menurut abu Isa (Tirmidzi) bahwa hadis ini hasan gharib. Dan jika dilihat dari segi kuantitasnya hadis ini termasuk gharib karena diriwayatkan oleh 1 orang perawi.
al-Nawāwī menganggap hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim adalah shahih. Namun al-Albani berbeda pendapat, beliau tidak serta merta menganggap hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim semuanya shahih. Namun masih harus dilakukan penelitian ulang terhadap hadis-hadisnya.
Al-Albani secara tidak langsung melakukan kritik terhadap hadis-hadis dalam Riyadhus Shalihin. Ini terbukti beliau menelurkan karyanya yang berjudul “Hadis-hadis Dha’īf dalam Riyādh al-Shālihīn”. Beliau menegaskan bahwa hadis-hadis yang dipakai dalam kitab tersebut tidak semuanya shahih, masih banyak hadis yang dha’īf yang digunakan dalam kitab tersebut. Sebagaimana contoh hadis berkualitas dha’īf dalam bab muqarrabah, Riyādh al-Shālihīn menurut al-Albani:
Dari Abu Ya'la Syaddad bin Aus RA mengatakan bahwa Nabi Saw. bersabda:
الكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ ، وَعَمِلَ لِمَا بعدَ المَوتِ ، والعَاجِزُ مَنْ أتْبَعَ نَفْسَهُ هَواهَا وَتَمنَّى عَلَى اللهِ الاَمَانِيَّ.

Orang yang sempurna akalnya ialah yang mengoreksi dirinya dan bersedia beramal sebagai bekal setelah mati. Dan orang yang rendah ialah yang selalu menurutkan hawa nafsunya. Disamping itu, ia mengharapkan berbagai angan-angan kepada Allah”. (HR. Tirmidzi, ia mengatakan bahwa hadis ini hasan).
Keterangan dari al-Albani:
Hadis ini sanadnya dha’īf, karena ada seorang perawi bernama Abu Bakar Ibnu Abi Maryam; dia kacau hafalannya setelah rumahnya kecurian.
Selanjutnya Adz-Dzahabi menolak dan mengkritiknya, dengan berkata, "Demi Allah, Abu Bakar adalah orang  yang suka menduga-duga dalam meriwayatkan hadis. Ada Syahid untuk hadis tersebut dari Anas RA, yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syu'b al-Iman, tetapi beliau berkata, "Tetapi dalam sanad hadis ini ada perawi bemama Aun bin Ammarah, dia orang yang dhaif dalam periwayatannya." (Lihat kitab Silsilah Ahadīs Al-Dha’īfah hadis no. 5319; Dha’īf  al- Jami' al-Shaghir no. 4305; al-Misykah no. 5289; Dha’īf Sunan At-Tirmidzi hadis no. 436; Dha'if Sunan Ibnu Majah hadits no. 930; al-Misykah hadis no. 5289; Bahjatun-Nazhirin hadits no. 66 oleh Syaikh Sahm bin Id Al Hilali; Takhrij Riyādh al-Shālihīn hadis no. 66 oleh Syaikh Syu'aib Al Arnauth).

III.     Kitab Riyādh al-Shālihīn dan Pesantren
Kitab ini merupakan salah satu kitab yang dipakai dalam pembelajaran di pondok-pondok pesantren, baik untuk pendidikan formal maupun non-formal. Namun, tidak seluruh pondok pesantren di Indonesia menggunakan kitab tersebut. Penulis belum mendapatkan data tentang siapa yang pertama kali membawa dan mengajarkan kitab ini di Indonesia. Untuk membuktikan hal itu penulis melakukan penelitian “kecil-kecilan” dengan melihat sejauh mana pemakaian kitab tersebut di beberapa pondok pesantren. Penulis meneliti 43 pondok pesantren dengan menggunakan metode acak dan dirasa cukup mewakili pesantren-pesantren penerima PBSB UIN Sunan Kalijaga.

PEMBELAJARAN KITAB RIYADH AL-SHALIHIN
DI BEBERAPA PESANTREN PENERIMA PBSB

Kategori: Jenis Pondok Pesantren
PESANTREN MODERN
No
Nama Pesantren
Daerah/Kota
Pembelajaran
Waktu
01
Darussalam
Ciamis, Jawa Barat
Ya (3 MTs)
Ba’da Ashar
02
Rasyidiyah Khalidiyah
Amuntai, Kalsel
Ya
1-3 MA
03
Miftahul Ulum al-Yasini
Pasuruan, jatim
Ya
Ba’da Subuh
04
Mu’allimin
Yogyakarta
Ya
Ba’da Maghrib
05
Al-Islam
Nganjuk, Jatim
Ya
Ramadhan
06
Al-Basyariyah
Bandung
Tidak

07
Assalam
Cibodas, Sukabumi
Tidak

08
Darul Mujahadah
Tegal, Jateng
Tidak

09
Diponogoro
Klungkung, Bali
Tidak

10
Madrasah Ulumul Qur’an
Langsa Timur, Aceh
Tidak

11
Al-Islah
Paciran, Lamongan
Tidak

12
Al Hikmah
Gunung Kidul
Tidak

13
Ta’mirul Islam
Solo, Jateng
Tidak

14
Sumatera Towalib
Parabek, Sumbar
Tidak

15
An Nur
Jambi
Tidak

16
Ushuluddin
Lampung Selatan
Tidak


PESANTREN SALAF
No
Nama Pesantren
Daerah/Kota
Pembelajaran
Waktu
01
Sunan Pandanaran
Yogyakarta
Ya
Diniyah
02
Perguruan KH. Z. Musthafa
Tasikmalaya
Ya (2 MA)

03
Ahmada Al Hikmah
Kediri, Jatim
Ya
Ba’da Isya
04
Al-Ishlah
Bungah, Kediri
Tidak

05
Matholi’ul Huda
Jepara, Jateng
Tidak

06
Bintang Sembilan
Jember, Jatim
Tidak

07
Darul Faizin Assalafiyah
Jombang, Jatim
Tidak

08
Musthawafiyah
Medan, Sumut
Ya


PESANTREN SEMI SALAF-MODERN
No
Nama Pesantren
Daerah/Kota
Pembelajaran
Waktu
01
At-Tanwir
Bojonegoro, Jatim
Ya (mulai 2 MA)

02
Tarbiyatut Thalabah
Lamongan, Jatim
Ya
Ramadhan
03
Darul Ulum
Kulon Progo, Yogyakarta
Ya
Ba’da magrib
04
Ma’had Almu’awanah
Pandeglang, Banten
Ya (di kelas)
1x seminggu
05
Darul Ma’wa
Demak, Jateng
Ya (3 MTs-3 MA)

06
Mamba’ul Ma’arif
Jombang, Jatim
Ya
Ba’da Isya
07
Ar Riyadz
Tabanan, Bali
Ya
Ba’da Ashar
08
Al Mubarok
Demak Jateng
Ya
Ba’da Subuh
09
Al-Hikmah 2
Brebes, Jateng
Ya
Aliyah
10
An-Nur
Malang, Jatim
Ya (MA)

11
Darus Sholah
Jember, Jatim
Ya

12
Al Islam
Kemuja, Bangka
Tidak

13
Nurul Ulum
Trenggalek, Jatim
Tidak

14
Al-Anwar
Jombang, Jatim
Tidak

15
Persis no.91
Tasikmalaya, Jabar
Tidak

16
Al Ittfaqiah
Indralaya, Sumsel
Tidak

17
Al Ghozali Bahrul Ulum
Jombang, Jatim
Tidak

18
Darul Kamal
NTB
Tidak

19
Ma’had Hadis Biru
Sulsel
Tidak


Dari 43 pesantren yang menjadi objek penelitian, 20 pondok pesantren menggunakan kita tersebut dan sisanya – sebanyak 23 pondok pesantren – mengaku tidak menggunaknnya. Dan terlihat bahwa yang banyak menggunakan kitab tersebut adalah pondok-pondok semi modern-salaf. Selain itu, penulis juga mengklasifikasikannya ke dalam 3 regional; Sumatera, Pulau Jawa dan non Sumatera-Jawa. Hal ini untuk mempermudah melihat penyebaran pengajaran kitab tersebut.
PEMBELAJARAN KITAB RIYADH AL-SHALIHIN
DI BEBERAPA PESANTREN PENERIMA PBSB
Kategori: Regional

SUMATERA
No
Nama Pesantren
Daerah/kota
Pembelajaran
Waktu
01
Madrasah Ulumul Qur’an
Langsa Timur, Aceh
Tidak

02
Sumatera Towalib
Parabek, Sumbar
Tidak

03
Al Islam
Kemuja, Bangka
Tidak

04
Al Ittfaqiah
Indralaya, Sumsel
Tidak

05
An Nur
Jambi
Tidak

06
Ushuluddin
Lampung Selatan
Tidak

07
Musthawafiyah
Medan
Ya


JAWA BARAT-BANTEN
No
Nama Pesantren
Daerah/kota
Pembelajaran
Waktu
01
Darussalam
Ciamis, Jawa Barat
Ya (3 MTs)
Ba’da Ashar
02
Al Basyariyah
Bandung
Tidak

03
Assalam
Cibodas, Sukabumi
Tidak

04
Perguruan KH. Z. Musthafa
Tasikmalaya
Ya (2 MA)

05
Ma’had Al Mu’awanah
Pandeglang, Banten
Ya (di kelas)
1x seminggu
06
Persis no.91
Tasikmalaya
Tidak


JAWA TENGAH-YOGYAKARTA
No
Nama Pesantren
Daerah/kota
Pembelajaran
Waktu
01
Darul Mujahadah
Tegal, Jateng
Tidak

02
Mu’allimin
Yogyakarta
Ya
Ba’da maghrib
03
Al Hikmah
Gunung Kidul
Tidak

04
Ta’mirul Islam
Solo, Jateng
Tidak

05
Sunan Pandanaran
Yogyakarta
Ya
Diniyah
06
Matholi’ul Huda
Jepara, Jateng
Tidak

07
Darul Ulum
Kulon Progo
Ya
Ba’da magrib
08
Darul Ma’wa
Demak, Jateng
Ya (3 MTs-3 MA)

09
Al Mubarok
Demak Jateng
Ya
Ba’da sbuh
10
Al Hikmah 2
Brebes, Jateng
Ya
Aliyah

JAWA TIMUR
No
Nama Pesantren
Daerah/kota
Pembelajaran
Waktu
01
Miftahul Ulum Al Yasini
Pasuruan, jatim
Ya
Ba’da subuh
02
Al Islah
Paciran, Lamongan
Tidak

03
Al Islam
Nganjuk, Jatim
Ya

04
Al Ishlah
Bungah, Kediri
Tidak

05
Bintang Sembilan
Jember, Jatim
Tidak

06
Darul Faizin Assalafiyah
Jombang, Jatim
Tidak

07
At Tanwir
Bojonegoro, Jatim
Ya (mulai 2 MA)

08
Tarbiyatut Tholabah
Lamongan, Jatim
Ya
Ramadhan
09
Nurul Ulum
Trenggalek, Jatim
Tidak

10
Al Anwar
Jombang, Jatim
Tidak

11
Mamba’ul Ma’arif
Jombang, Jatim
Ya
Ba’da isya
12
An Nur
Malang, Jatim
Ya (MA)

13
Darus Sholah
Jember, Jatim
Ya

14
Al Ghozali Bahrul Ulum
Jombang, Jatim
Tidak

15
Ahmada Al Hikmah
Kediri, Jatim
Ya
Ba’da Isya

NON SUMATERA-JAWA
No
Nama Pesantren
Daerah/kota
Pembelajaran
Waktu
01
Diponogoro
Klungkung, Bali
Tidak

02
Ar Riyadz
Tabanan, Bali
Ya
Ba’da Ashar
03
Darul Kamal
NTB
Tidak

04
Rasyidiyah Khalidiyah
Amuntai, Kalsel
Ya
1-3 MA
05
Ma’had Hadis Biru
Sulsel
tidak

 Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa di regional Sumatera sangat jarang menggunakan kitab tersebut. Begitu pula dengan regional non Sumatera-Jawa dengan perbandingan 2:3. Sedangkan untuk regional Jawa, 17 pondok pesantren menggunakannya dan 14 pondok pesantren menyatakan tidak.

IV.  Simpulan
Dari uraian singkat di atas, penulis menyimpulkan:
1.      Kitab Riyādh al-Shālihīn termasuk kitab hadis yang memuat berbagai hadis nabi yang mayoritas kualitasnya shahih.
2.      Kitab ini merupakan salah satu kitab “favorit” yang diajarkan di pendidikan pondok pesantren, terutama yang bergenre semi Modern-Salaf dan di pulau Jawa.
3.      Pesantren-pesantren Sumatera termasuk yang jarang menggunakan kitab tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Syarah Riyādh al-Shālihīn, (Surabaya: PT Bina Ilmu), 1993.
CD ROM al-Hadis al-Syārif 1991-1997,  VCR II, Global Islamic Sofware Company/ Syirkah al-Baramij al-Islamiyyah al-Dauliyyah.
DVD al-Maktabah al- Syāmilah.
Munir, Abu Zuhdi. Hadis-Hadis Dha’if dalam Riyādh al-Shālihīn. Pustaka Azam. tt.
Yahya, Abu Zakaria. Riyādh al-Shālihīn, Indonesia: al-Haramain Jaya Indo, tt.
__________Al-Tibyān fi Adāb Hamalāt al-Qur’ān. Jakarta: Dar al-Hikmah, tt.
Http://www.ummah.com Diakses tanggal 15 April, 2011.
Http://hikmah.sitesled.com. Diakses tanggal 15 April 2011.
Http://www.coptichistory.org Diakses tanggal 27 April 2011.


[1] Abu Zakaria Yahyā bin Syarāf al-Dīn al-Nawawī al-Syafi’ī. Riyadhus Shālihīn, (Indonesia: al-Haramain Jaya Indonesia ), hal. 3
[2] Kata ‘al-Nawawī’ dinisbatkan kepada sebuah perkampungan yang bernama ‘Nawa’ tersebut, yakni salah satu perkampungan di Damaskus, Syiria, tempat kelahiran beliau.
[3] Abu Zakaria Yahya bin Syaraf al-Din al- Nawawī al-Syafi’i. Al-Tibyan fi Adab Hamalat al-Qur’an. (Jakarta: Dar al-Hikmah), dalam biografi pengarang kitab.
[4] Http://www.ummah.com. Diakses tanggal 15 April, 2011      
[5] Http://hikmah.sitesled.com. Diakses tanggal 15 April 2011
[6] Abu Zakaria Yahya bin Syaraf al-Din al- Nawawī al-Syafi’i. Al-Tibyan fi Adab Hamalat al-Qur’an... hlm. 4
[7] Sebagai contoh, misalnya, beliau mengambil sikap tidak mau memakan buah-buahan Damaskus karena merasa ada syubhat seputar kepemilikan tanah dan kebun-kebunnya di sana. Contoh lainnya, ketika mengajar di Dar al-Hadīs, beliau sebenarnya menerima gaji yang cukup besar, tetapi tidak sepeser pun diambilnya. Beliau justru mengumpulkannya dan menitipkannya pada kepala Madrasah. Setiap mendapatkan jatah tahunannya, beliau membeli sebidang tanah, kemudian mewakafkannya kepada Dar al-Hadīs. Atau membeli beberapa buah buku kemudian mewakafkannya ke perpustakaan Madrasah. Beliau tidak pernah mau menerima hadiah atau pemberian, kecuali bila memang sangat memerlukannya sekali dan ini pun dengan syarat. Yaitu, orang yang membawanya haruslah sosok yang sudah beliau percayai diennya. Beliau juga tidak mau menerima sesuatu, kecuali dari kedua orangtuanya atau kerabatnya. Ibunya selalu mengirimkan baju atau pakaian kepadanya. Demikian pula, ayahnya selalu mengirimkan makanan untuknya. Ketika berada di al-Madrasah ar-Rawahiyyah, Damaskus, beliau hanya mau tidur di kamar yang disediakan untuknya saja di sana dan tidak mau diistimewakan atau diberikan fasilitas yang lebih dari itu.
[8] Abu Zakaria Yahyā bin Syarāf al-Dīn al-Nawawī al-Syafi’ī. al-Tibyān fī Adāb Hamalāh al-Qur’ān. (Jakarta: Dar al-Hikmah), hlm. 5
[9] Pengantar al-Hasaini A’bul Madjid Hasyim. Syarah Riyadhus Shālihīn, (Surabaya: PT Bina Ilmu), 1993
[10]Abu Zakaria Yahyā bin Syarāf al-Dīn al-Nawawī al-Syafi’ī. al-Tibyān fī Adāb Hamalāh al-Qur’ān, … Hlm. 3-4
[11] Abdul ghani ad-Daqr, al-Imam al-Nawawi. Syaikh al-Islam wa al-Muslimin, wa ‘Umdah al-Fuqaha' wa al-Muhadditsin, Daar el-Qalam press, Damsyiq, cet.5 1426/2005
[12]  http://www.coptichistory.org diakses tanggal 27 April 2011
[13] Jumlah berdasarkan kitab primer, sedangkan dalam al-Maktabah al-Syamilah terdapat 17 kitab, karena pada bagian kitab al-Mantsurat dan al-mulah dan kitab istighfar dalam al-Maktabah al-Syamilah menjadi satu bab, yakni terdapat dalam kitab al-umur al-manha ‘anha, ada juga yang menyebutkan bahwa kitab ini terdiri dari 17 kitab, 265 bab dan 1897 hadis. (Lihat Muqaddimah Syarhu Riyadhush Shalihin karya: Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, oleh: Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thoyaar, cetakan pertama tahun 1415/1995).
[14](Lihat Muqaddimah Syarhu Riyadhush Shalihin, karya: Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, oleh: Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thoyaar, cetakan pertama tahun 1415/1995).
[15]Lihat Abu Zakaria Yahyā bin Syarāf al-Dīn al-Nawawī al-Syafi’ī. Riyadhus Shālihīn, (Indonesia: al-Haramain Jaya Indonesia ). Hlm.711-718
[16] Lihat Hadis Riwayat al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Kitāb al-Radha’, Bāb Ma Jaa fi al-Zauj al –Mar’ah, No.1080, CD Mausū’ah al-Hadīś al Syarīf, Global Islam Software, 1991-1997

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...