WELLCOME TO MY SIMPLE BLOG. PELASE ENJOY IT... ....!!!

Minggu, 08 Januari 2012

KONSEP DOA DALAM AL-QUR`AN By Ahmad Zarkasyi


A.    Pendahuluan
Al-Qur`an merupakan sumber utama perundang-undangan dalam Islam sekaligus sebagai pedoman, penuntun, guidelines abadi bagi seluruh ummat Islam dan siapapun yang mengimaninya. Oleh karena itu, sebagai konsekwensi logis, setiap orang yang beriman, berkewajiban untuk menjalankan segala perintah di dalam al-Qur`an. Adapun salah satu hal yang diajarkan al-Qur`an adalah tuntunan untuk berdoa.
Term doa telah banyak diketahui oleh masyarakat. Berbagai literatur telah banyak memberikan informasi terkait dengan doa. Akan tetapi, pemahaman yang diberikan cenderung mengartikan kata “doa” hanya sebagai permohonan. Terlebih bila dihubungkan dengan “terkabulnya doa”, maka hal ini hanya akan menjelaskan pengertian doa serta terkabulnya doa dari salah satu sisinya. Implikasinya, informasi yang diberikan belum memberikan pemahaman yang  menyeluruh terhadap term doa yang multimakna tersebut.
Dengan demikian, tulisan ini berusaha untuk memberikan informasi mengenai variasi makna doa, serta memberikan penjelasan ringkas mengenai hal-hal yang berhubungan dengan doa. Semoga tuliasan ini diridhai oleh Allah swt.

B.     Definisi Doa
Dilihat dari konstruksi hurufnya, doa merupakan kata serapan yang diadopsi dari bahasa Arab, yaitu al-du`a (الدعاء). Adapun dari sisi bentuk atau shighat (الصيغة), lafadz al-du`a (الدعاء) merupakan salah satu bentuk derivasi dalam bentuk mashdar (المصدر)[1] yang di ambil dari lafadz (دعا - يدعو). Sedangkan kata kerja (دعا - يدعو) sendiri, termasuk ke dalam fi`il tsulasi mujarrad, yaitu kata kerja yang terbentuk dari tiga huruf dal,`ain, dan alif, dengan menyandang predikat bina` mu`tal naqish[2].
Pembentukan lafadz mashdar al-du`a (الدعاء) dari kata kerja (دعا - يدعو), mengikuti salah satu kaidah pembentukan mashdar sima`i[3] fi`il tsulasi mujarrad, yaitu apabila suatu lafadz mengandung arti suara, maka pembentukan mashdar akan mengikuti wazan فعالا atau فعيلا,[4] sehingga lafadz دعا yang secara teori memiliki bentuk asli دعو , berubah menjadi دعاوا . Akan tetapi, hasil derivasi tersebut belum mencapai bentuk final. Hal ini dikarenakan, bentuk mashdar دعاوا harus terbentur dengan ketentuan lain, yaitu apabila huruf wawu atau ya` terletak sesudah huruf tambahan; huruf alif yang terletak setelah huruf `ain, maka berdasarkan teori, huruf-huruf tersebut harus diganti dengan huruf hamzah.[5] Dengan demikian, bentuk mashdar دعاوا berubah menjadi دعاءا atau الدعاء.
“Doa” (الدعاء) merupakan jenis lafadz yang memiliki makna lebih dari satu (baca: polisemi). Hal ini terlihat ketika al-Qur`an menggunakan kata doa beserta derivasinya di berbagai tempat dengan sasaran makna yang berbeda. Berdasarkan data deskriptif di dalam kitab al-Mu`jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur`an al-Karim,[6] kata “doa” digunakan sebanyak kurang lebih dua ratus empat belas kali beserta derivasinya. Abu Ja`far al-Thabari,[7] salah seoarang pakar tafsir abad ke 3, memaparkan beberapa hal penting terkait dengan doa. Di dalam karya tafsirnya dijelaskan bahwa lafadz doa secara umum memiliki dua pengertian. Pertama, bahwa yang dimaksud dengan doa adalah segala bentuk amal yang diperintahkan oleh Allah, baik yang bersifat sunah ataupun wajib. Dengan kata lain, bahwa arti primer dari doa adalah ibadah.[8] Hal ini senada dengan hadis Nabi:

حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ ذَرٍّ عَنْ يُسَيِّعٍ الْكِنْدِيِّ عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قَوْلِهِ وَقَالَ رَبُّكُمْ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ قَالَ الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ وَقَرَأَ وَقَالَ رَبُّكُمْ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِلَى قَوْلِهِ دَاخِرِينَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ[9]
Diriwayatkan dari Nu`man ibn Basyir, bahwa Rasulullah saw bersabda: Tuhanmu telah berkata “berdoalah kepadaku maka akan ku kabulkan”, Rasul berkata: doa adalah Ibadah….
Adapun pengertian kedua, menurut al-Thabari merupakan makna khusus dari kata doa.[10] Dalam karya tafsirnya, ia tidak memberikan penjelasan secara terperinci terkait makna sekunder dari doa. Akan tetapi, informasi terkait hal ini terlengkapi dengan beberapa pandangan yang diberikan oleh para Ulama. Salah satunya yang dipaparkan oleh Abu al-Qasim al-Husain ibn Muhammad atau lebih dikenal dengan nama Al-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H),[11] seorang pakar dalam kosa kata al-Qur`an. Melalui karyanya; al-Mufradat fi Gharib al-Qur`an, ia menjelaskan bahwa kata doa di dalam al-Qur`an memiliki beberapa makna, [12] diantaranya:
1.      Penamaan (al-tasmiyyah)

لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah Telah mengetahui orang-orang yang berangsur- angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS. al-nur (24): 63)
2.      Permohonan (al-su`al)

قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا هِيَ قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لَا فَارِضٌ وَلَا بِكْرٌ عَوَانٌ بَيْنَ ذَلِكَ فَافْعَلُوا مَا تُؤْمَرُونَ
Mereka menjawab: " mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar dia menerangkan kepada Kami; sapi betina apakah itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu". (QS. al-Baqarah (2): 68)


3.      Memohon perlindungan (al-istighātsah)

قُلْ أَرَأَيْتَكُمْ إِنْ أَتَاكُمْ عَذَابُ اللَّهِ أَوْ أَتَتْكُمُ السَّاعَةُ أَغَيْرَ اللَّهِ تَدْعُونَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku jika datang siksaan Allah kepadamu, atau datang kepadamu hari kiamat, apakah kamu menyeru (Tuhan) selain Allah; jika kamu orang-orang yang benar!" (QS. al-an`am (6): 40)
4.      Bersedih hati karena penyesalan (al-Ta`assuf)

لَا تَدْعُوا الْيَوْمَ ثُبُورًا وَاحِدًا وَادْعُوا ثُبُورًا كَثِيرًا
(akan dikatakan kepada mereka): "Jangan kamu sekalian mengharapkan satu kebinasaan, melainkan harapkanlah kebinasaan yang banyak" (QS. Al-Furqan (25): 14)
5.      Anjuran, dorongan (al-ĥaśś)

قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِينَ
Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih Aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu Aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah Aku termasuk orang-orang yang bodoh." (QS. Yusuf (12): 33)
6.      Penaikan derajat dan penghormatan (al-rif`ah wa al-tanwih)

لَا جَرَمَ أَنَّمَا تَدْعُونَنِي إِلَيْهِ لَيْسَ لَهُ دَعْوَةٌ فِي الدُّنْيَا وَلَا فِي الْآَخِرَةِ وَأَنَّ مَرَدَّنَا إِلَى اللَّهِ وَأَنَّ الْمُسْرِفِينَ هُمْ أَصْحَابُ النَّارِ
Sudah pasti bahwa apa yang kamu seru supaya Aku (beriman) kepadanya tidak dapat memperkenankan seruan apapun baik di dunia maupun di akhirat. dan Sesungguhnya kita kembali kepada Allah dan Sesungguhnya orang-orang yang melampaui batas, mereka Itulah penghuni neraka. (QS. Al-Mukmin (40): 43)

  
C.    Kandungan Doa
Selain sebagai kata yang memiliki banyak makna (polisemi), doa juga memiliki beberapa kandungan di dalamnya. Hal ini dipaparkan oleh Abu Ishaq di dalam mengomentari surat al-Baqarah ayat 186, yang kemudian dikutip oleh Ibn Ma`dzur di dalam karyanya; Lisan al-Arab:[13]

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
            Dari ayat di atas, Abu Ishaq memunculkan konsepnya mengenai doa yang yang ditujukan kepada Allah. Menurutnya, secara umum, doa mengandung tiga hal. Pertama, pengesaan dan pujian kepada Allah. Demi memunculkan gambaran praksis, ia mengilustrasikannya dengan bentuk ucapan konkrit:
يا الله لا إله إلا أنت
Ya Allah, tiada Tuhan selain Engkau.
ربنا لك الحمد
            Wahai Tuhan kami, segala puji hanya bagi-Mu.
            Dengan demikian, ketika disebut nama Allah kemudian diikuti dengan lafadz yang berorientasi kepada pengesaan serta pujian kepada Allah, ucapan tersebut termasuk dalam kategori berdoa kepada Allah. Oleh karena itu, ucapan tahlil, tahmid, takbir dan berbagai bentuk ucapan lain yang memiliki unsur pengesaan dan pujian kepada Allah masuk ke dalam kategori doa.
            Kedua, permohonan yang bersifat rohaniah, seperti meminta ampun, rahmat dan lain sebagainya. contohnya di dalam al-Qur`an adalah:

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan Saudara-saudara kami yang Telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Hasyr (59): 10).
            Ketiga, permohonan yang berorientasi kepada materi duniawi. Seperti halnya berdoa meminta rizki, anak, makanan dan lain-lain. Contoh doa yang mengandung unsur ini di dalam al-Qur`an:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آَمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آَمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ قَالَ وَمَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلًا ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَى عَذَابِ النَّارِ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, Kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan Itulah seburuk-buruk tempat kembali". (QS. Al-Baqarah (2): 126).
D.    Konsep Ijabah al-Du`a
Pada dasarnya, salah satu landasan konkrit tentang terkabulnya suatu doa dalam al-Qur`an, adalah surat al-Baqarah ayat 186:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.[14]
Konsep ijabah atau terkabulnya suatu doa tidak dapat terlepas dari interpretasi lafadz doa itu sendiri. Hal ini dikarenakan, secara garis besar, doa memiliki dua pengertian: ibadah sebagai makna pokok, dan juga makna-makna sekundernya. Dengan kata lain, pengertian ini berimplikasi pada pemahaman konsep ijabah suatu doa. Oleh karena itu, konsep ijabah al-du`a terbagi menjadi dua; konsep primer dan sekunder.
Terkait dengan lafadz doa yang diartikan sebagai ibadah, al-Thabari memberikan pandangannya terhadap konsep ijabah dari makna doa tersebut. menurutnya, kata ijabah di sini memiliki pengertian pemberian pahala. Hal ini merupakan sebuah konsekwensi konkrit bagi setiap ibadah yang ditunaikan. Oleh karena itu, konsep doa di sini dapat diartikan sebagai permohonan hamba kepada Allah dan memohon janji-Nya (seperti halnya) kepada para para wali Allah atas keta`atan mereka kepada-Nya. Adapun konsep ijabah dari pengertian doa ini, yaitu balasan yang Allah janjikan kepada setiap orang yang melaksanakan kewajiban. Dengan kata lain, konsep ibadah ini memiliki pengertian bahwa Allah akan memberikan pahala bagi setiap ibadah, sebagai bentuk ta`at kepada-Nya. Konsep inilah yang dipandang sebagai konsep primer dari terkabulnya doa.[15]
Eksistensi makna-makna lain di dalam lafadz doa, secara otomatis berimplikasi terhadap pengertian ijabah dalam doa, karena pengertian ijabah senantiasa menyesuaikan interpretasi lafadz doa. Dalam hal ini, konsep ijabah terkait dengan lafadz doa yang diinterpretasikan sebagai permohonan, disinggung di dalam hadis Nabi, yaitu:
أَنَّهُ لَا يَضِيعُ الدُّعَاءُ بَلْ لَا بُدَّ لِلدَّاعِي مِنْ إحْدَى ثَلَاثٍ : إمَّا أَنْ يُعَجِّلَ لَهُ دَعْوَتَهُ ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ ، وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنْ السُّوءِ مِثْلَهَا
            Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan doa salah seorang di antara kamu, melainkan patilah bagi orang yang berdoa salah satu dari tiga perkara: Ada kalanya Allah mengabulkan doanya (di dunia), atau menundanya hingga di akhirat, atau menggantinya dengan yang lainnya. (HR. Ahmad).[16]
            Dari keterangan di atas, terlihat konsep ijabah dari makna turunan doa, yaitu adakalnya doa dikabulkan di dunia, atau di akhirat, bahkan dikabulkan dengan cara diganti dengan hal yang lebih baik menurut Allah. Hal inilah yang menunjukan bahwa pada dasarnya, tidak ada doa yang ditolak oleh Allah (mardud). Karena ada kalanya Allah mengabulkan doa di dunia. Namun, apabila doa dirasa tidak terealisasikan didunia, maka terdapat dua kemungkinan. Pertama, Allah mengabulkannya doa itu di akhirat. Kedua, Allah mewujudkan doa tersebut dalam bentuk lain yang lebih baik. Dikabulkannya doa, baik itu di dunia, di akhirat atau bahkan diganti dengan yang lebih baik merupakan hikmah dari Allah swt. Karena Allah yang Maha mengetahui segala yang baik untuk hambanya. Dengan kata lain, Allah memberikan apa yang dibutuhkan namun tidak selalu mengabulkan apa yang diminta.
E.     Urgensi Doa
Menurut al-Razi,[17] terjadi perdebatan terkait dengan respon manusia terhadap urgensi doa, sehingga memunculkan dua kutub yang saling bertolak belakang. Pertama, pendapat yang diangggap bersumber dari orang-orang yang tidak mengerti (al-juhhal), bahwa doa merupakan sesuatu yang tidak memiliki nilai faidah atau manfaat. Akan tetapi pendapat ini tidak terlepas dari argumen-argumen untuk mendukungnya. Setidaknya, ada tujuh dalil yang diketengahkan.
Pertama, suatu hal yang diperkenankan oleh Allah untuk terjadi, maka terjadinya hal tersebut adalah pasti, begitu juga sebaliknya. Dengan demikian, eksistensi doa tidaklah dibutuhkan. Kedua, segala sesuatu yang bersifat baru (hadis) di dunia ini memiliki tujuan akhir, yaitu akhirat. Dengan kata lain, Semua yang hadiś akan kembali kepada penciptanya – Allah. Setiap hal di dunia ini telah diatur dan ditetapkan oleh Allah, mulai dari huduś hingga kembali lagi kepada Pengaturnya. Sehingga segala yang terjadi dan yang tidak terjadi di dunia ini merupakan ketetapan Allah sejak zaman azaly. Oleh karena itu, eksistensi doa tidak dapat mempengaruhi kepastian ini.[18]
Ketiga, Allah Maha mengetahui setiap hal ghaib. adapun nash al-Qur`an yang diketengahkan sebagai landasannya:

يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ  [19]
Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati. (al-Mukmin (40): 19)
                Ayat tersebut mengindikasikan bahwa Allah Maha mengetahui segala sesuatu. Termasuk di dalamnya, hal yang terbesit dalam hati manusia. sehingga menurut pandangan ini, tidak lagi dibutuhkan doa, karena Allah telah mengetahui keingina manusia dari hatinya, meskipun tidak termanifestasikan melalui sebuah ucapan verbal atau doa.
Keempat, adanya konsep bahwa apabila suatu permohonan mengandung nilai maslahah, maka Allah tidak akan meninggalkan kemaslahatan tersebut. Singkatnya, kemaslahatan tersebut pastilah diberikan oleh Allah. Sedangkan apabila permohonan tersebut tidak mengandung nilai maslahah, maka tidak diperbolehkan untuk memintanya.[20]
Kelima, bersikap Ridha[21] terhadap ketentuan Allah merupakan maqom tertinggi. Adapun doa adalah sebuah sikap yang menafikan sikap ridha terhadap ketentuan Allah. Hal ini dikarenakan, doa mengindikasikan adanya sikap yang  memprioritaskan keinginan pribadi dari pada kehendak Allah.[22]
Keenam, pandangan yang mengatakan bahwa doa merupakan bentuk lain dari perintah dan larangan. Pada dataran praksisnya, hal ini terjadi pada hubungan vertikal dari hamba kepada Allah. Sehingga hal ini dipandang sebagai perbuatan yang termasuk ke dalam kategori budi pekerti yang tidak baik (su` al-adab).[23]
Ketujuh, adanya hadis qudsi yang mengatakan:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إن الله تعالى يقول : « من شغله ذكري عن مسألتي أعطيته أفضل ما أعطي السائلين »[24]
Rasulullah saw bersabda, bahwa sesungguhnya Allah berfirman: barang siapa yang (lebih) sibuk mengingat Ku daripada memohon kepada Ku, maka aku akan memberikan kepadanya hal yang lebih utama dari yang kuberikan kepada orang-orang yang memohon.
            Dalam riwayat di atas, disebutkan bahwa dzikir merupakan hal yang lebih utama dibandingkan dengan berdoa. Dengan demikian, pandangan ini sampai pada sebuah kesimpulan, bahwa meniggalkan doa merupakan hal yang lebih utama.[25]
            Adapun pandangan kedua tentang urgensi doa adalah pendapat yang dilontarkan oleh Jumhur Ulama` rasionalis. Para Ulama` sepakat bahwa doa merupakan aspek paling penting di dalam tingkatan ibadah (baca: maqomat al-ubudiyyah). Pendapat ini di dukung dengan menghadirkan beberapa argumen, baik berupa dalil naqly ataupun `aqli. Adapun dalil naqli yang diketengahkan adalah eksistensi tanya – jawab di dalam al-Qur`an, baik pertanyaan yang berupa permasalahan ushuliyyah ataupun furu`iyyah. Di antara pertanyaan yang bersifat ushuliyyah  di dalam al-Qur`an adalah:[26]

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْجِبَالِ فَقُلْ يَنْسِفُهَا رَبِّي نَسْفًا
Dan mereka bertanya kepadamu tentang gunung-gunung, Maka Katakanlah: "Tuhanku akan menghancurkannya (di hari kiamat) sehancur-hancurnya, (QS. Thaha: 105).
            Adapun pertanyaan yang membahas masalah furu`iyyah dalam al-Qur`an adalah:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآَيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir, (QS. Al-Baqarah: 219).
                Secara garis besar, konsep tanya-jawab di dalam al-Qur`an terbagi menjadi tiga bentuk. Pertama, jawaban dengan menggunakan kata qul. Kedua, dengan tambahan huruf fa` menjadi faqul, seperti pada tanya-jawab tentang permasalahan gunung. Hal ini dikarenakan pertanyaan yasalūnaka `an jibāl merupakan pertanyaan yang mengadung masalah ushuliyyah, sehingga Allah memberikan jawaban dengan menambahkan huruf fa` pada kata faqul. Hal ini memberikan gambaran, seolah-olah Allah memerintah Nabi Muhammad untuk menjawabnya langsung dan tidak menginginkan penundaan. Karena penundaan tersebut akan membawa penanya pada keraguan sehingga memunculkan sikap kufur. Adapun keterangan nasfa menunjukan bahwa Allah berkuasa untuk menghancurkan gunung dari bagian manapun.[27]
            Bentuk ketiga dari tanya-jawab di dalam al-Qur`an adalah tanpa disertai kata qul ataupun faqul. Seperti yang terjadi pada ayat:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ
            Pada ayat di atas tidak disebutkan “qul inni qarib” atau “faqul inni qarib”. Hal ini menunjukan keagungan doa, diantaranya: pertama, ayat ini mengindikasikan tidak adanya pembatas antara seorang hamba dan Allah. Kedua, lafadz wa idzā sa`alaka `ibādī `annī menunjukan hubungan antara hamba kepada Allah dan lafadz fainni qarib menunjukan hubungan Allah kepada hamba-Nya. Ketiga, fainnī qarīb diartikan dengan fa ana minhu qarib yang menunjukan kekuasaan Allah untuk mendekatkan manusia yang berada di alam fana` dengan keberadaan Allah. Keempat, ayat tersebut menunjukan bahwa tujuan dari doa adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sehingga Jumhur Ulama`  berkesimpulan bahwa doa merupakan bentuk amalan yang paling utama di dalam ibadah.[28]
F.     Adab Berdoa
Adab berdoa merupakan tata cara yang lahir dalam menyikapi lafadz doa yang bermakna permohonan. Ketika memohon kepada Allah, hal ini menunjukan adanya hubungan vertikal dari yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi derajatnya, yaitu hamba kepada penciptanya. Adapun setiap orang yang berdoa memiliki orientasi terealisasikannya Dengan demikian, adab dalam berdoa menunjukan sisi etika menghadap Allah yang harus dijaga.
Adapun menurut Imam Ghazali[29], ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan ketika memohon kepada Allah, di antaranya:[30]
1.      Memilih waktu yang dimuliakan atau waktu ijabah, seperti hari arafah, waktu sahur, dan sebagainya yang bersifat temporal, Allah berfirman:

وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
Dan di akhir-akhir malam (waktu sahur), mereka memohon ampun (kepada Allah). (al-Dzariyyat: 18)

Disebutkan pula di dalam riwayat Bukhari, hadis no. 2940:

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ الْأَغَرِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

                        Dari Abu hurairah,, bahwa Rasulullah saw bersabda: Allah swt turun ke langit dunia setiap malam di saat akhir malam tinggal sepertiga, kemudian Allah berfirman: barang siapa yang berdoa kepada k, akan aku kabulkannya, barang siapa yang meminta kepadaku, aku akan memberinya, barang siapa yang memohon ampun kepadaku, aku akan mengampuninya

2.      Mempergunakan kesempatan yang terbaik (insidental), diriwayatkan sebuah hadis:
قال أبو هريرة رضي الله عنه: إن أبواب السماء تفتح عند زحف الصفوف في سبيل الله تعالى وعند نزول الغيث وعند إقامة الصلوات المكتوبة فاغتنموا الدعاء فيه[31]
3.      Ketika memohon kepada Allah, hendaklah menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangan, seperti yang diriwayatkan Bukhari no. 5983:
حدثنا موسى بن إسماعيل حدثنا وهيب حدثنا عمرو بن يحيى عن عباد بن تميم عن عبد الله بن زيد قال : خرج النبي صلى الله عليه و سلم إلى هذ المصلى يستسقي فدعا واستسقى ثم استقبل القبلة وقلب رداءه
4.      Dalam berdoa, hendaklah untuk merendahkan suara. Diriwayatkan dalam sahih Bukhari no. 6120:
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ مُقَاتِلٍ أَبُو الْحَسَنِ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا خَالِدٌ الْحَذَّاءُ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزَاةٍ فَجَعَلْنَا لَا نَصْعَدُ شَرَفًا وَلَا نَعْلُو شَرَفًا وَلَا نَهْبِطُ فِي وَادٍ إِلَّا رَفَعْنَا أَصْوَاتَنَا بِالتَّكْبِيرِ قَالَ فَدَنَا مِنَّا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا إِنَّمَا تَدْعُونَ سَمِيعًا بَصِيرًا ثُمَّ قَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ قَيْسٍ أَلَا أُعَلِّمُكَ كَلِمَةً هِيَ مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ
5.      Menghindari kalimat bersajak yang berlebihan, hingga menghilangkan rasa rendah diri kepada Allah. Etika ini terdapat dalam riwayat Abu Daud no. 88:
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ الْجُرَيْرِيُّ عَنْ أَبِي نَعَامَةَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مُغَفَّلٍ سَمِعَ ابْنَهُ يَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْقَصْرَ الْأَبْيَضَ عَنْ يَمِينِ الْجَنَّةِ إِذَا دَخَلْتُهَا فَقَالَ أَيْ بُنَيَّ سَلْ اللَّهَ الْجَنَّةَ وَتَعَوَّذْ بِهِ مِنْ النَّارِ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّهُ سَيَكُونُ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ قَوْمٌ يَعْتَدُونَ فِي الطَّهُورِ وَالدُّعَاءِ
6.      Merendahkan diri dan khusyu`
فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَى وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
Maka kami memperkenankan doanya, dan kami anugerahkan kepada nya Yahya dan kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada kami dengan harap dan cemas. dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada kami.


7.      Yakin bahwa doa akan dikabulkan, perintah ini terdapat dalam riwayat al-Turmudzi no. 3401:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاوِيَةَ الْجُمَحِيُّ وَهُوَ رَجُلٌ صَالِحٌ حَدَّثَنَا صَالِحٌ الْمُرِّيُّ عَنْ هِشَامِ بْنِ حَسَّانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالْإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لَاهٍ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ سَمِعْت عَبَّاسًا الْعَنْبَرِيَّ يَقُولُ اكْتُبُوا عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُعَاوِيَةَ الْجُمَحِيِّ فَإِنَّهُ ثِقَةٌ
8.      Bersungguh-sungguh dan mengulang doa tiga kali, seperti halnya yang termaktub dalam riwayat Bukhari no. 6910:

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَعَوْتُمْ اللَّهَ فَاعْزِمُوا فِي الدُّعَاءِ وَلَا يَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ إِنْ شِئْتَ فَأَعْطِنِي فَإِنَّ اللَّهَ لَا مُسْتَكْرِهَ لَهُ
9.      Hendaklah berdzikir sebelum berdoa. Hal ini diriwayatkan oleh Abu dawud 1266:

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ حَدَّثَنَا حَيْوَةُ أَخْبَرَنِي أَبُو هَانِئٍ حُمَيْدُ بْنُ هَانِئٍ أَنَّ أَبَا عَلِيٍّ عَمْرَو بْنَ مَالِكٍ حَدَّثَهُ أَنَّهُ سَمِعَ فَضَالَةَ بْنَ عُبَيْدٍ صَاحِبَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ سَمِعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا يَدْعُو فِي صَلَاتِهِ لَمْ يُمَجِّدْ اللَّهَ تَعَالَى وَلَمْ يُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَجِلَ هَذَا ثُمَّ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِتَمْجِيدِ رَبِّهِ جَلَّ وَعَزَّ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ ثُمَّ يُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَدْعُو بَعْدُ بِمَا شَاءَ
10.  Bertaubat dari segala dosa, mengembalikan hak-hak orang lain yang dianiaya, menyerahkan diri kepada Allah.
G.    Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya, kata doa merupakan jenis kata yang memiliki banyak makna, atau disebut dengan polisemi. Secara garis besar, Imam al-Thabari membaginya menjadi dua, yaitu doa sebagai makna primer yang berarti ibadah, serta makna sekunder sebagaimana penjelasan sebelumnya. Adapun pengertian ini, pada tahap selanjutnya akan berimplikasi pada konsep ijabah. Doa yang diartikan sebagai ibadah, berimplikasi pada pemaknaan ijabah yang berarti pemberian pahala. Begitu juga yang terjadi pada pengertian ijabah pada makna doa yang lain.
Selain  itu, tidak dapat dipungkiri bahwa doa merupakan hal yang dibutuhkan oleh seorang hamba. Hal ini bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Doa juga memiliki sisi ibadah di hadapan Allah karena menunjukan ketaatan manusia kepada Allah.
Wallah a`lam bi al-shawwab




DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Abu Hamid. Ihya `Ulum al-Din DVD Maktabah Syamilah, Pustaka Ridwan, 2008.
Abdul Baqi, Muhammad Fuad al-Mu`jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur`an al-Karim kairo: Dar al-Hadis, t.t.
Abdul Mustaqim, Akhlaq Tasawuf: Jalan Menuju Revolusi spiritual. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007.
Abu al-Fida` Isma`il ibn Umar ibn Katsir al-Qurasyi al-Damsyiqi, Tafsir al-Qur`an al-`Adzim. Semarang: Toha Putra, t.t.
al-Ashfahani, Al-Raghib, al-Mufradat fi Gharib al-Qur`an. Bairut: Dar al-Ma`rifah, t.t.
al-Dzahabi, Muhammad Husain. al-Tafsir wa al-Mufassirun . t.t. : Maktabah Mush`ab ibn Umar al-Islamiyyah, 2004.
al-Shabithy, Abu Abdirrahman `Isham al-Din. Jami` al-Ahadis al-Qudsiyyah: Qism al-Dha`if wa al-Mawdhu` DVD Maktabah Syamilah, Pustaka Ridwan, 2008.
Al-Shan’ani, Muhammad ibn Isma`il al-Kahlani Subul al-Salam DVD Maktabah Syamilah, Pustaka Ridwan, 2008.
al-Thabari, Abu Ja`far, Jami` al-Bayan fi Ta`wil al-Qur`an DVD Maktabah Syamilah, Pustaka Ridwan, 2008.
Busyro, Muhtarom. al-Sharf al-Wadlih: Shorof Praktis “Metode Krapyak”. Yogyakarta: Putera Menara, 2007
Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib DVD Maktabah Syamilah, Pustaka Ridwan, 2008.
Ghafur, Saiful Amin. Profil Para Mufassir Al-Qur`an. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008.
Ibn Mandzur, Lisan al-`Arab DVD Maktabah Syamilah, Pustaka Ridwan, 2008.
Mursi, Muhammad Sa`id. Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007.


[1] Mashdar merupakan kata benda jadian yang tidak terkait dengan keterangan waktu  layaknya kata kerja (fi`il). Adapun mashdar dalam ilmu shorof, terbagi menjadi dua, yaitu mashdar mim dan masdhar ghair mim. Secara singkat, perbedaan keduanya dapat dilihat dari ada atau tidaknya huruf mim (م) di awal kata. Apabila huruf awal suatu mashdar terdiri dari huruf mim, maka termasuk ke dalam kategori mashdar mim. Lihat: Muhtarom Busyro, al-Sharf al-Wadlih: Shorof Praktis “Metode Krapyak” (Yogyakarta: Putera Menara, 2007), hlm. 189-190.
[2]  mu`tal naqish merupakan salah satu bina` mu`tal, yaitu apabila lam fi`il (mengikuti wazan فعل) suatu lafadz terdiri dari huruf `illat: alif, waw, dan ya`. Dengan demikian, lafadz (دعا) menyandang bina` mu`tal naqish karena adanya huruf `illat alif di huruf terakhir. Untuk lebih jelas, lihat: Muhtarom Busyro, al-Sharf al-Wadlih…hlm. 25.
[3] Mashdar sima`i adalah salah satu bentuk mashdar yang terbentuk berdasarkan pendengaran dari kata-kata yang diucapkan oleh orang Arab sebagai native-speaker atau pemilik bahasa tersebut. dengan demikian, jumlah wazan untuk membentuk mashdar jenis ini memiliki jumlah yang banyak serta tidak dapat diqiyaskan. Lihat: Muhtarom Busyro, al-Sharf al-Wadlih…hlm. 190.
[4] Lihat: Muhtarom Busyro, dalam al-Sharf al-Wadlih…hlm. 210.
[5] Dalam teks aslinya berbunyi: “ قلبت الواو همزة لوقوعها بعد ألف زائدة ”. Sebagaimana dikutip oleh Muhtarom Busyro, al-Sharf al-Wadlih: Shorof Praktis “Metode Krapyak” dalam Syarh li Tashrif al-`izzy (Semarang, Toha Putra, t.t), hlm. 17.
[6] Lihat: Muhammad Fuad Abdul Baqi al-Mu`jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur`an al-Karim (kairo: Dar al-Hadis, t.t.), hlm. 257 – 260.
[7] Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Jarir Yazid ibn Katsir ibn Ghalib, atau yang lebih dikenal dengan nama Abu Ja`far al-Thabari akarena dinisbatkan pada kota kelahirannya. Dia lahir di sebuah daerah yang bernama Amil, Ibu Kota Thabaristan di Persia (Iran) sekitar tahun 224 H dan wafat pada tahun 310 H. Kondisi sosial pada masa kehidupannya merupakan masa ketika Islam mencapai periode keemasan di panggung peradaban, yaitu periode kebangkitan Daulah Abasyiah (750 – 1242 M) yang berpusat di Baghdad. semasa hidupnya ia memilih untuk membujang sehingga banyak waktu yang dicurahkan untuk mencari Ilmu. Salah satu karyanya yang monumental adalah kitab tafsir Jami` al-Bayan fi Ta`wil al-Qur`an. Ia menyelesaikan kitab tersebut selama tujuh tahun. Dalam dunia tafsir, kitab ini merupakan kitab tafsir generasi pertama yang dibukukan dan masih eksis hingga saat ini. Akan tetapi, hal tersebut tidak mengindikasikan bahwa sebelum masa al-Thabari kesadaran pembukuan kitab tafsir belum muncul. Namun, perkembangan tafsir pada saat itu relatif lamban dan terpencar. Lihat: Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun (t.t. : Maktabah Mush`ab ibn Umar al-Islamiyyah, 2004), hlm. 147 – 161, juz 1. Lihat pula pada: Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufassir Al-Qur`an (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), hlm. 63-69.
[8] Lihat: Abu Ja`far al-Thabari, Jami` al-Bayan fi Ta`wil al-Qur`an DVD Maktabah Syamilah, Pustaka Ridwan, 2008 hlm. 485. Juz 3.
[9] Berdasarkan data pada CD Mausu`ah al-Hadits al-Syarif, sanad hadis ini adalah marfu` muttashil, serta terdapat penilaian tsiqah pada setiap rawinya. Ditemukan di dalam Kitab Sunan al-Tirmidzi no. 2895. Selain itu, ditemukan pula beberapa hadis setema dari beberapa sumber kitab hadis yang tercakup di dalam al-Kutub al-Tis`ah yaitu, di dalam sunan al-Tirmidzi no. 3170, 3294,  di dalam kitab Sunan Abi Dawud no. 1264, ibn Majah no. 38181, Musnad Ahmad no. 17269, 17660, 17665, 17705, 17709.
[10] Lihat: Abu Ja`far al-Thabari, Jami` al-Bayan fi Ta`wil al-Qur`an … hlm. 485. Juz 3.
[11] Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim Husein ibn Muhammad ibn al-Mufadldlal, dikenal dengan nama al-Raghib al-Ashfahani. Di dalam keterangan biografi pada bagian awal kitabnya yang ditahqiq oleh Muhammad Sayyid Kailani, disebutkan bahwa tidak diketahui tahun ia lahir serta tempat-tempat perlawatannya dalam mencari ilmu. Ia merupakan salah seoarang ulama yang cukup produktif. Hal ini terlihat dengan berbagai karyanya, yaitu: Tafshil al-Nasyatain wa tahshil al-sa`adatain, al-Dzari`ah ila makarim al-Syari`ah, Muhadlarat al-Addiba`, serta al-Mufradat fi Gharib al-Qur`an. Ia merupakan Ulama` sunni yang menolak pemikiran kelompok Mu`tazilah, Jabariyyah, Qadariyyah. Lihat: Al-Raghib al-Ashfahani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur`an (Bairut: Dar al-Ma`rifah, t.t.), hlm. 3.
[12] Al-Raghib al-Ashfahani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur`an…hlm. 169 – 170.
[13] Lihat: Ibn Mandzur, Lisan al-`Arab DVD Maktabah Syamilah, Pustaka Ridwan, 2008 hlm. 257. Juz 14.
[14] Terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan latar belakang turunnya ayat ini. Diantara beberapa riwayat itu disebutkan bahwa faktor turunnya ayat ini adalah sebuah pertanyaan seoarang penduduk Arab pedesaan tentang kedekatan Allah. Dalam riwayat lain dijelaskan, bahwa pertanyaan sahabat terkait tentang keberadaan Allah. Terdapat pula riwayat yang mengatakan bahwa pertanyaan tersebut tentang waktu berdoa. Dalam Riwayat lain mengatakan bahwa turunnya ayat ini dikarenakan adanya sahabat yang berdoa dengan suara yang keras sehingga Nabi menegurnya. Untuk lebih jelas lihat: Abu al-Fida` Isma`il ibn Umar ibn Katsir al-Qurasyi al-Damsyiqi, Tafsir al-Qur`an al-`Adzim (Semarang: Toha Putra, t.t.), hlm. 218. Juz 1.
[15] Lihat: Abu Ja`far al-Thabari, Jami` al-Bayan fi Ta`wil al-Qur`an … hlm. 485. Juz 3.
[16] Hadis ini di tashih oleh al-Hakim. Lihat: Muhammad ibn Isma`il al-Kahlani Al-Shan’ani, Subul al-Salam  DVD Maktabah Syamilah, Pustaka Ridwan, 2008 hlm. 249. Juz 7.
[17] Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad ibn `Umar ibn al-Husain ibn al-Hasan ibn Ali al-Tamimi al-bakri al-Thabrastani al-Razi yang memiliki laqob Fakhruddin al-Razi. Ia dilahirkan pada tahun 544 H kemudian meninggal pada tahun 606 H. al-Razi merupakan sosok Ulama yang multi-disipliner (al-mabahir fi al-`ulum). Selain seorang Imam dalam bidang Tafsir pada masanya, ia juga ahli dalam bidang kalam, bahasa, serta ilmu logika. Sebagai sosok cendikiawan, ia merupakan sosok yang produktif, terbukti dengan beberapa karangannya, yaitu al-Mathalib al-Aliyyah (ilmu kalam), al-Mahshul, Syarh `Uyun al-Hikmah, dan kitab tafsir monumentalnya yang diberi nama Mafatih al-Ghaib. Lihat: Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun… hlm. 206 – 210. Juz 1.
[18] Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib DVD Maktabah Syamilah, Pustaka Ridwan, 2008 hlm. 111. Juz 3.
[19] Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib… hlm. 112. Juz 3.
[20] Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib … hlm. 112. Juz 3.
[21] Hakikat makna ridha adalah sikap menerima segala sesuatu yang terjadi dengan senang hati dan memandangnya sebagai kehendak Allah swt. Dengan demikian, orang yang telah mencapai maqam ridha tidak mungkin menentang ketentuan Allah. akan tetapi, ridha bukanlah sikap pasif. Sikap ini merupakan tindakan aktif yang membutuhkan ikhtiar. Disebutkan pula bahwa sikap ridha menduduki maqam yang lebih tinggi dari sabar. Karena di dalam sabar, masih dimungkinkan adanya kesusahan hati, sedangkan ridha terlepas dari perasaan itu. lihat: Abdul Mustaqim, Akhlaq Tasawuf: Jalan Menuju Revolusi spiritual (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007), hlm. 109 – 111.
[22] Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib… hlm. 112. Juz 3.
[23] Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib… hlm. 112. Juz 3.
[24] Diriwayatkan di dalam: Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib… hlm. 112. Juz 3. Ditemukan pula di dalam: Al-Baihaqi, Sya`b al-Iman DVD Maktabah Syamilah, Pustaka Ridwan, 2008 hlm. 139. Juz 2. Nomor hadis 597 – 599. Ditemukan pula hadis setema dengan redaksi yang berbeda yaitu: قال الله تعالى:من شغله ذكرى عن مسألتى أعطيته قبل أن يسألنى. Akan tetapi hadis tersebut dihukumi dhaif karena adanya Abu Muslim Abdirrahman ibn Waqid yang disinyalir lemah. Lihat: Abu Abdirrahman `Isham al-Din al-Shabithy, Jami` al-Ahadis al-Qudsiyyah: Qism al-Dha`if wa al-Mawdhu` DVD Maktabah Syamilah, Pustaka Ridwan, 2008 hlm. 20. Juz 1.
[25] Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib… hlm. 112. Juz 3.
[26] Disebutkna pula ayat-ayat lain yang menunjukan tanya-jawab dalam masalah ushuliyyah, yaitu: (QS. Al-Isra`: 85) dan (QS. Al-Nazi`at: 42). Lihat: Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib… hlm. 112. Juz 3.
[27] Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib… hlm. 112. Juz 3.
[28] Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib… hlm. 112. Juz 3.
[29] Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad Ghazali al-Thusi, atau dikenal dengan sebutan Abu Hamid, gelarnya hujjah ak-Islam. Ia dilahirkan di Thabrani, sebuah desa di khurasan pada tahun 450 H dan meninggal pada tahun 505 H. Imam al-Ghazali merupakan sosok ulama` multi-disipliner. Selain ahli dalam bidang tasawuf, ia juga seoarang ahli fiqih, teologi, tafsir, filasafat, serta syair-syair arab. Ia juga termasuk cendikiawan yang produktif. Dari karangan-karangannya yang berjumlah ratusan terdapat kitab Ihya` `Ulum al-Din, al-Basith, Tuhfah al-falsafah. Lihat: Muhammad Sa`id Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007), hlm. 361-362.
[30] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya `Ulum al-Din DVD Maktabah Syamilah, Pustaka Ridwan, 2008 hlm. 312 - 316. Juz 1.
[31] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya `Ulum al-Din… hlm. 313, juz. 1.

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...